Sabtu, 12 Maret 2016

Seberkas Cahaya di Kaki Gunung Setugel


Saat kita berada di dalam kegelapan maka tugas kita adalah menyalakan cahaya agar semua terlihat nyata. Seberkas cahaya lilin lebih berarti daripada tak ada terang sama sekali. Jadilah penyala agar hati dan pikiran seterang cahaya rembulan.
 
Tak terpikirkan sama sekali olehku menjadi salah satu penyala di pelosok negeri bernama Indonesia. Sebuah pilihan hidup yang harus dijalani walau tak mudah. Setiap kesulitan yang mendera memberikan banyak pelajaran tentang makna kehidupan yang sesungguhnya. Kini aku mendedikasikan diri di sebuah dusun-dusun mungil di Kaki Gunung Setugel. Tepatnya di Dusun Gumuk dan Genting, Magelang, Jawa Tengah. Dusun terpencil yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota yang terkadang melenakan.
Masyarakat di dua dusun ini rata-rata menjadi penganyam dhodho, keranjang bambu yang biasa digunakan memuat sayuran seperti kubis, timun, dan lainnya. Anak-anak di sini sangat lugu dan rata-rata memiliki minat yang rendah untuk bersekolah. Biasanya selepas lulus SD atau SMP mereka membantu orangtua, menanam sayuran di ladang. Untungnya mereka masih memiliki minat yang besar untuk belajar agama melalui Taman Pendidikan Alquran (TPA). 

Mengajar TPA itu seperti membuat sebuah genteng. Setelah tanah liat ada tinggal diolah. Dibentuk, dicetak, dijemur, dibakar hingga genteng siap digunakan. Begitupun anak-anak perlu diarahkan dan diberi pemahaman bagaimana cara menjalani kehidupan sesuai aturan Sang Pencipta. Menghadapi anak-anak dengan berbagai karakter itu memiliki tantangan tersendiri. Ada yang sifatnya keras kepala, pemalu, manja, cuek hingga perhatian dan penuh kasih sayang.




Kelas TPA di dua dusun ini masing-masing dibuka hanya 3 hari dalam sepekan. TPA Dusun Gumuk setiap Senin, Kamis dan Jumat. Sementara Dusun Genting setiap Selasa, Rabu dan Sabtu. Selain belajar membaca Alquran dengan metode iqro kegiatan lainnya pun digelar. Setiap hari Senin dan Kamis ada buka puasa bersama. Anak-anak dilatih untuk mengikuti sunnah rosululloh. Memang tidak semua anak berpuasa namun ini akan menjadi pelajaran berarti saat mereka dewasa kelak. Momen yang sangat berharga, saat mereka membaca doa berbuka puasa bersama sesuai dengan bacaan yang dicontohkan rosululloh.

“Dzahabad dhoma u wabtal latil ‘uruqu watsabatal ajru, insya alloh. Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah serta pahala telah tetap, isnya alloh.”

Itu momen berharga yang “nyess” di hati. Lisan-lisan mungil mereka begitu fasih melantunkan doa berbuka puasa yang dibaca setiap dua pekan sekali.
Setiap hari Jumat ada kegiatan gosok gigi bersama. Mengenalkan cara menyikat gigi yang benar dan mengenalkan siwak yang biasa digunakan Rosululloh. Setiap hari jumat kita disunnahkan membaca surat Al-Kahfi, maka anak-anak yang telah bisa membaca Alquran mengadakan tadarus alquran. Satu anak membaca ayat per ayat yang lainnya menyimak, membetulkan bacaan temannya jika salah dalam membaca. Begitu seterusnya secara bergantian. 

Lilin yang tengah kunyalakan kini mulai menunjukkan sinarnya. Belum seterang bulan, memang, apalagi secerah sinar mentari. Namun, itu akan sangat berarti ketimbang mengutuk kegelapan tiada henti. #Wallohu ‘Alam.
                                               
                                                                                                            Magelang, 13 Maret 2016

1 komentar:

  1. Masyaallah. Semoga menjadi amal jariyah untuk Kak Jarwo. Salam untuk santri-santri disana.

    BalasHapus

Pages