Perjalanan banyak memberiku kesan. Kesan berjumpa dengan banyak orang dengan segala polahnya. Qodarulloh, Alloh mempertemukanku dengan anak-anak di Dusun Gumuk. Sebuah dusun kecil yang dipenuhi jurang-jurang mungil di bawah kaki Gunung Setugel, Magelang, Jawa Tengah. Tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya akan berjumpa dengan mereka. Apalagi membersamai mereka hingga saat ini. Melalui kelas baca Alquran di sebuah surau di pinggir perkampungan.
Dalam sepekan aku bertemu dengan mereka 4 kali, tepatnya
setiap Hari Senin, Rabu, Kamis dan Jumat. Itulah hari dimana aku bisa membuka
lembar demi lembar setiap kisah dari sebuah buku berjudul anak-anak. Kisah yang
disuguhkan sangat berragam dan tidak menjemukan. Mulai dari kisah yang
menggembirakan yang tiba-tiba membuatku tertawa. Hingga kisah menyedihkan yang
aku pun tak kuasa menitikkan air mata. Sebuah buku yang tak pernah kudapatkan
di toko buku manapun.
Saat kubuka lembar pertama aku terkesima dengan kisah
Salimna. Gadis kecil yang paling fasih membaca Alquran. Usianya sekitar 10
tahun. Sehabis pulang sekolah waktunya dihabiskan membuat keranjang-keranjang dhodho
untuk dijual. Kini, ia mulai mengenakan hijab syari yang tidak transparan lagi.
Jilbab-jilbab tipisnya didobel agar terlihat tebal. Alhasil, kini ia bisa
tampil dengan busana sempurna. Ingat ini di sebuah dusun kecil di pedalaman,
lho. Tak gampang menemukan perempuan berjilbab lebar.
Kubuka lembaran lainnya, kutemukan kisah seorang gadis berusia
12 tahun bernama Nurul. Ia anak yang “istimewa”. Perkembangan fisiknya sempurna
namun pola pikirnya seperti anak TK. Saat ditanya “A” ia akan menjawab “B”.
Wowwww,,, ajaib bukan ?. Ia baru Iqro satu, pengenalan huruf “Alif” dan “Ba”.
Huruf Alif dibaca A jika ditambah fathah, cara mengucapkannya di tenggorokan
bagian bawah. Sementara huruf “Ba” dibaca dengan cara kedua bibir bertemu dalam
keadaan tertutup. “Wow, Nurul bisa mengucapkannya dengan sempurna”. Sungguh
kesempurnaan Alloh yang tiada tara. Dibalik kekurangan anak-anak yang
menyandang status “istimewa” ada banyak kelebihan yang kutemukan dalam diri
mereka. Aih, Nurul, Nurul ... ! Aku tak ingin terlalu lama membaca kisahmu. Aku
tak ingin “butiran kristal bening” keluar dari kedua kelopak mataku.
Ada kisah tentang Siti Jarti. Usianya baru 10 tahun. Saat
mengaji ia selalu mengenakan hijab syari berwarna biru tua lengkap dengan baju
gamisnya. Sepintas ia seperti anak orang kaya. Namun, saat aku membaca lebih
dalam kisahnya aku hampir menitikkan air mata. Ia harus tidur diatas tumpukan
batu-bata yang disusun berselimutkan kasur tipis tanpa ranjang. Ayahnya rela
mengorbankan sedikit pendapatannya untuk membelikan baju anaknya agar tampil
sempurna saat mengaji. Pengorbanan yang luar biasa.
Aku menitikkan air mata saat membaca lembar-lembar yang
berisi tentang keinginan mereka menuju Mekkah. Untuk melakukan ibadah haji
maupun umroh. Anak-anak polos itu menyadari kondisi mereka yang hidup di bawah
garis kemiskinan. Namun, anak-anak itu punya Alloh yang Maha Kaya. Yang Maha
Mendengar doa hamba-hambanya. Mereka optimis dan tak pernah putus asa sedikit
pun. Setiap kelas baca Alquran berakhir, dengan dibimbing guru mereka, doa
dengan penuh kekhusyuan agar bisa ke Mekkah dipanjatkan. Semua terdiam tak ada
yang berkata sepatah kata pun. Mereka duduk bersila, tangan mungil mereka
menengadah sebagai tanda meminta pada Yang Maha Kuasa. Air mata membasahi pipi-pipi mereka. Mereka
semua menangis sesegukan. Mereka benar-benar ingin ke Mekkah, itu terpancar
jelas dari raut wajah mereka. Mata merah dengan berlinang air mata masih saja
terlihat saat doa selesai dipanjatkan. Aku tak kuasa membaca lembar berikutnya.
Aku hanya berharap suatu saat bisa membaca lembar berikutnya tentang pengalaman
mereka dan guru yang sangat disayanginya saat berada di Mekkah. Aamiin.
Aku masih di sini, membaca lembar demi lembar kisah yang ada
dalam buku ini. Segala rasa dalam batinku seperti dicampuraduk tak karuan.
Masih banyak kisah-kisah lainnya yang tak bisa kuceritakan pada kalian. Coba dan
rasakan langsung dengan membaca kisah-kisah mereka di Kaki Gunung Setugel ini.
Mungkin akan ada sedikit hikmah yang bisa dijadikan pelajaran.
*Keranjang dhodho : keranjang yang digunakan untuk menampung
sayuran, biasanya kubis dan terbuat dari bilahan-bilahan bambu yang dianyam.
Tersentuh sekali, tulisannya tidak sekedar rangkaian kata, namun dibumbui penjiwaan yang. Amiin angan agar bisa ke Mekkah semoga terwujud
BalasHapus