Sebuah perahu pipih terpajang dalam ruangan lantai
II Museum Lampung. Tampak replika patung yang sedang mendayung. Beberapa
perlengkapan kehidupan sehari-hari seperti pinggan, cawan, sendok hingga alat
masak pun tampak disana. Sementara pada bagian tengah perahu tampak pipih dan
datar serta bisa digunakan untuk tiduran. Itulah perahu jung. Banyak juga yang
mengenalnya dengan sebutan jukung.
Kehidupan masyarakat Lampung pesisir yang tersebar
mulai dari pesisir Krui, Kota Agung, Kalianda, hingga pesisir sungai Tulang
Bawang maupun Sekampung begitu terbuka. Masyarakat dunia dari lintas etnis
berbaur mencari penghidupan. Maka ekspresi kebudayaan masyarakat pesisir
cenderung lebih bisa menerima kebudayaan dari luar. Namun disisi lain, napas
kehidupan air begitu kentara melalui berbagai alat budaya yang mereka gunakan.
Menurut Budi Suprianto, kasi pelayanan umum Museum
Lampung, Masyarakat Saibatin menggunakan garis keturunan patrilineal. Anak
laki-laki pertama memiliki peranan yang cukup penting. Hal ini karena mereka
akan menjadi dasar penerus pewarisan tahta. Masyarakat Lampung pesisir memiliki
beberapa gelar yang cukup tinggi dalam struktur masyarakat Lampung seperti
Pangiran, Raja, Radin, Kria, dalom dan lain-lain. Biasanya gelar-gelar hanya
dipakai bagi mereka yang awal mula menempati daerah baru. Tidaklah mudah untuk
menentukan daerah baru, mereka biasanya akan menyusuri daerah pesisir
menggunakan perahu (jukung).
Kita bisa menemukan motif-motif perahu maupun
binatang air lainnya dalam kain tapis maupun kain inuh. Motif kapal yang
ditemukan pada kain-kain tapis Lampung menandakan betapa dekatnya masyarakat
Lampung dengan kehidupan air. Seperti berbagai anekdot yang banyak berkembang
di masyarakat, diamana ada sungai atau laut hampir dipastikan ada masyarakat
Lampung disitu. Artinya, dalam masyarakat Lampung, perahu memiliki peranan yang
sangat penting.
Perahu Jung dilengkapi dengan peralatan hidup sehari-hari
Sebuah perahu dengan bentuk yang cukup familiar
terpajang di lantai 2 Museum Lampung. Perahu atau dalam bahasa setempat dikenal
dengan jukung itu biasanya terbuat dari kayu rengas yang tahan dengan air.
Bentuknya sederhana, satu kayu yang besar dengan panjang 7,66 meter itu
dilubangi bagian dalamnya. Bentuk perahu ini hampir mereka ditemukan di wilayah
perairan nusantara. Namun, dengan penyebutan yang berbeda-beda. Perahu yang
terpajang disini dulunya ditemukan di Desa Terbanggi Besar, Kecamatan Terbanggi
Besar, Lampung Tengah. Perahu berusia 120 tahun itu dulunya digunakan di daerah
perairan sungai, rawa dan teluk yang tenang sebelum dipindahkan ke Museum
Lampung pada tahun 2000. Tipe perahu Jung sama dengan perahu Kajang.
Budaya masyarakat Lampung pesisir atau yang lebih
dikenal sebagai Lampung Saibatin begitu dekat dengan air. Mereka tak bisa
terlepas dari air sebagai sumber kehidupan. Dalam konsep kehidupan, air menjadi
titik awalnya. Sementara masyarkat Lampung pesisir memiliki cara tersendiri
dalam mengekspresikan rasa cinta mereka kepada pasangan. Perahu Jung tidak
hanya berfungsi sebagai perahu yang digunakan untuk alat transportasi atau
untuk mengangkut barang-barang dan juga sebagai alat untuk mencari keperluan
hidup sehari-hari semata. Tetapi, ada fungsi lain yang belum tersibak.
Perahu Jung pada dasarnya digunakan untuk keperluan
transportasi air. Namun, siapa sangka perahu yang memiliki panjang 7,66 meter
itu dulunya konon digunakan sebagai alat memadu kasih bagi pengantin baru.
Menurut kisah yang beredar di masyarakat perahu itu digunakan sebagai tempat
untuk malam pertama. Selain berisi alat-alat keperluan hidup sehar-hari didalam
perahu itu juga ada semacam tempat yang bisa digunakan untuk tidur atau pun
memadu kasih. Saat malam hari, perahu ini akan ditutup menggunakan pelepah daun
nipah yang telah dianyam yang ditopang menggunakan bilahan bambu atau kayu. Fungsi
dari anyaman ini untuk menahan hawa dingin yang kian menusuk.
0 komentar:
Posting Komentar