Kamis, 29 Mei 2014

Jalan-jalan ke Museum Lampung eh Nemu Perahu Jung




Perahu Jung tempat melabuhkan cinta
 

Sebuah perahu pipih terpajang dalam ruangan lantai II Museum Lampung. Tampak replika patung yang sedang mendayung. Beberapa perlengkapan kehidupan sehari-hari seperti pinggan, cawan, sendok hingga alat masak pun tampak disana. Sementara pada bagian tengah perahu tampak pipih dan datar serta bisa digunakan untuk tiduran. Itulah perahu jung. Banyak juga yang mengenalnya dengan sebutan jukung.

Kehidupan masyarakat Lampung pesisir yang tersebar mulai dari pesisir Krui, Kota Agung, Kalianda, hingga pesisir sungai Tulang Bawang maupun Sekampung begitu terbuka. Masyarakat dunia dari lintas etnis berbaur mencari penghidupan. Maka ekspresi kebudayaan masyarakat pesisir cenderung lebih bisa menerima kebudayaan dari luar. Namun disisi lain, napas kehidupan air begitu kentara melalui berbagai alat budaya yang mereka gunakan. 

Menurut Budi Suprianto, kasi pelayanan umum Museum Lampung, Masyarakat Saibatin menggunakan garis keturunan patrilineal. Anak laki-laki pertama memiliki peranan yang cukup penting. Hal ini karena mereka akan menjadi dasar penerus pewarisan tahta. Masyarakat Lampung pesisir memiliki beberapa gelar yang cukup tinggi dalam struktur masyarakat Lampung seperti Pangiran, Raja, Radin, Kria, dalom dan lain-lain. Biasanya gelar-gelar hanya dipakai bagi mereka yang awal mula menempati daerah baru. Tidaklah mudah untuk menentukan daerah baru, mereka biasanya akan menyusuri daerah pesisir menggunakan perahu (jukung).

Kita bisa menemukan motif-motif perahu maupun binatang air lainnya dalam kain tapis maupun kain inuh. Motif kapal yang ditemukan pada kain-kain tapis Lampung menandakan betapa dekatnya masyarakat Lampung dengan kehidupan air. Seperti berbagai anekdot yang banyak berkembang di masyarakat, diamana ada sungai atau laut hampir dipastikan ada masyarakat Lampung disitu. Artinya, dalam masyarakat Lampung, perahu memiliki peranan yang sangat penting. 


 Perahu Jung dilengkapi dengan peralatan hidup sehari-hari


Sebuah perahu dengan bentuk yang cukup familiar terpajang di lantai 2 Museum Lampung. Perahu atau dalam bahasa setempat dikenal dengan jukung itu biasanya terbuat dari kayu rengas yang tahan dengan air. Bentuknya sederhana, satu kayu yang besar dengan panjang 7,66 meter itu dilubangi bagian dalamnya. Bentuk perahu ini hampir mereka ditemukan di wilayah perairan nusantara. Namun, dengan penyebutan yang berbeda-beda. Perahu yang terpajang disini dulunya ditemukan di Desa Terbanggi Besar, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Perahu berusia 120 tahun itu dulunya digunakan di daerah perairan sungai, rawa dan teluk yang tenang sebelum dipindahkan ke Museum Lampung pada tahun 2000. Tipe perahu Jung sama dengan perahu Kajang. 

Budaya masyarakat Lampung pesisir atau yang lebih dikenal sebagai Lampung Saibatin begitu dekat dengan air. Mereka tak bisa terlepas dari air sebagai sumber kehidupan. Dalam konsep kehidupan, air menjadi titik awalnya. Sementara masyarkat Lampung pesisir memiliki cara tersendiri dalam mengekspresikan rasa cinta mereka kepada pasangan. Perahu Jung tidak hanya berfungsi sebagai perahu yang digunakan untuk alat transportasi atau untuk mengangkut barang-barang dan juga sebagai alat untuk mencari keperluan hidup sehari-hari semata. Tetapi, ada fungsi lain yang belum tersibak. 

Perahu Jung pada dasarnya digunakan untuk keperluan transportasi air. Namun, siapa sangka perahu yang memiliki panjang 7,66 meter itu dulunya konon digunakan sebagai alat memadu kasih bagi pengantin baru. Menurut kisah yang beredar di masyarakat perahu itu digunakan sebagai tempat untuk malam pertama. Selain berisi alat-alat keperluan hidup sehar-hari didalam perahu itu juga ada semacam tempat yang bisa digunakan untuk tidur atau pun memadu kasih. Saat malam hari, perahu ini akan ditutup menggunakan pelepah daun nipah yang telah dianyam yang ditopang menggunakan bilahan bambu atau kayu. Fungsi dari anyaman ini untuk menahan hawa dingin yang kian menusuk.

0 komentar:

Posting Komentar

Pages