Kamis, 29 Mei 2014

Jalan-Jalan ke Museum Lampung lihat Si Lela Peninggalan Belanda


Meriam Bumbung atau Meriam Lela dipajang di depan Museum Lampung


Selongsong ukuran sedang yang menyerupai labu raksana terpajang dengan gagah di depan Museum Lampung. Pada kedua sisinya ada benda bulat bergerigi yang menyerupai roda. Sementara pada bagian ujungnya, ada penopang yang kokoh. Setidaknya ada 3 selongsong meriam bumbung yang terpajang disana. 2 ukuran sedang dan 1 ukuran kecil. Ada yang menamainya meriam Lela. Kurang jelas, mengenai kenapa meriam peninggalan Belanda itu dinamai meriam Lela. Namun, orang lebih mengenalnya dengan sebutan meriam bumbung. “Kurang jelas, mengapa ada yang menamai Meriam Lela, namun masyarakat pasti mengenal meriam bumbung,” kata Budi Supriyanto, Kasi Pelayanan Museum Lampung.

Meriam bumbung yang terpanjang di taman Museum Lampung ini memiliki sejarah panjang dengan kepentingan Belanda di Karesidenan Lampung. Kala itu, baru ada Karesidenan Krui dan Tanjungkarang. Pemilihan dua lokasi ini tentunya dengan pertimbangan yang sangat matang, mengingat jalur perdagangan rempah-rempah melalui kedua wilayah ini. Darisinilah awal mula meriam-meriam buatan Belanda tersebar di beberapa wilayah di Lampung. “Krui dan Tanjungkarang, menjadi awal karesidenan Lampung, banyak meriam bumbung ditemukan disini,” kata dia.



Meriam Bumbung dengan ukuran paling besar terletak di sebelah kanan Museum Lampung

Masyarakat Lampung dulunya menggunakan meriam bumbung yang terbuat dari bambu untuk melengkapi prosesi adat. Namun, sekitar abad ke-17, meriam bumbung mulai tersebar di kalangan masyarkat adat Lampung dan digunakan sebagai salah satu alat untuk upacara adat. Dentuman yang begitu besar membuat meriam ini lebih menarik untuk upacara adat. Pada umunya meriam dengan ukuran kecil yang digunakan untuk acara adat. Meriam serupa masih bisa kita jumpai di Kerajaan Sekala Brak pekon Kegheringan, Lampung Barat. “Di Sekala Brak dan Kedamaian masih bias kita jumpai museum bumbung ukuran kecil,” kata Budi Supriyanto menambahkan.

Namun, kala itu, meriam bumbung digunakan oleh Belanda untuk menyerang Raden Intan yang menjadi salah satu pimpinan Keratuan Darah Putih di Kalianda. Peperangan yang terjadi dalam kurun waktu 1834-1836 ini menyisakan beberapa meriam yang hingga kini bisa kita jumpai. “Meriam bumbung digunakan dari atas kapal untuk mengebom tentara Raden Intan, karena alam yang bergunung-gunung,” kata Budi Supriyanto.

Meriam bumbung ini digunakan untuk pertempuran jarak jauh. Biasanya digunakan di benteng melalui bastion (lubang kecil untuk menginting musuh) atau bias juga digunakan diatas kapal perang. Kala itu Karesidenan Krui dan Tanjungkarang merupakan kota pesisir yang strategis bagi Belanda. Maka tak mengherankan jika, Meriam Bumbung yang terpajang di museum ini ditemukan di daerah Cukuh Balak, Tanggamus. Konon, meriam-meriam bumbung ini masih banyak dimiliki warga. Baik untuk upacara adat maupun untuk koleksi pribadi. “Masih banyak masyarakat Lampung yang memiliki meriam ini, terutama di daerah-daerah yang diduduki Belanda,” kata dia.



Meriam Bumbung tampak kokoh

Meriam bumbung yang dimiliki museum Lampung ada sekitar 7 buah. Namun, yang terpajang hanya 3. Sementara yang lainnya akan dikeluarkan saat ada acara-acara tertentu. Bahan pembuatan meriam ini adalah tembaga dan ada juga yang terbuat dari besi. Meriam ini langsung didatangkan dari Belanda dengan teknik pembuatan menggunakan system cor. Tebal bibir selongsong meriam ini sekitar 7-10 cm, sedangkan tebal bagian dalamnya mencapai 3-4 cm. panjang meriam yang dipakai pada tahun 1850 ini mencapai 1-1,40 cm. Berat meriam ini mencapai 2 ton dan butuh sekitar 6 orang untuk mengangkatnya. “Meriam ukuran kecil saja, butuh empat orang untuk mengangkatnya, itu pun masih terlalu berat, hehehe,” kata Budi Supriyanto menutup perbincangan. 

0 komentar:

Posting Komentar

Pages