Selongsong ukuran sedang yang menyerupai labu
raksana terpajang dengan gagah di depan Museum Lampung. Pada kedua sisinya ada
benda bulat bergerigi yang menyerupai roda. Sementara pada bagian ujungnya, ada
penopang yang kokoh. Setidaknya ada 3 selongsong meriam bumbung yang terpajang
disana. 2 ukuran sedang dan 1 ukuran kecil. Ada yang menamainya meriam Lela.
Kurang jelas, mengenai kenapa meriam peninggalan Belanda itu dinamai meriam
Lela. Namun, orang lebih mengenalnya dengan sebutan meriam bumbung. “Kurang
jelas, mengapa ada yang menamai Meriam Lela, namun masyarakat pasti mengenal
meriam bumbung,” kata Budi Supriyanto, Kasi Pelayanan Museum Lampung.
Meriam bumbung yang terpanjang di taman Museum
Lampung ini memiliki sejarah panjang dengan kepentingan Belanda di Karesidenan
Lampung. Kala itu, baru ada Karesidenan Krui dan Tanjungkarang. Pemilihan dua
lokasi ini tentunya dengan pertimbangan yang sangat matang, mengingat jalur
perdagangan rempah-rempah melalui kedua wilayah ini. Darisinilah awal mula
meriam-meriam buatan Belanda tersebar di beberapa wilayah di Lampung. “Krui dan
Tanjungkarang, menjadi awal karesidenan Lampung, banyak meriam bumbung
ditemukan disini,” kata dia.
Masyarakat Lampung dulunya menggunakan meriam
bumbung yang terbuat dari bambu untuk melengkapi prosesi adat. Namun, sekitar
abad ke-17, meriam bumbung mulai tersebar di kalangan masyarkat adat Lampung
dan digunakan sebagai salah satu alat untuk upacara adat. Dentuman yang begitu besar
membuat meriam ini lebih menarik untuk upacara adat. Pada umunya meriam dengan
ukuran kecil yang digunakan untuk acara adat. Meriam serupa masih bisa kita
jumpai di Kerajaan Sekala Brak pekon Kegheringan, Lampung Barat. “Di Sekala
Brak dan Kedamaian masih bias kita jumpai museum bumbung ukuran kecil,” kata
Budi Supriyanto menambahkan.
Namun, kala itu, meriam bumbung digunakan oleh
Belanda untuk menyerang Raden Intan yang menjadi salah satu pimpinan Keratuan
Darah Putih di Kalianda. Peperangan yang terjadi dalam kurun waktu 1834-1836
ini menyisakan beberapa meriam yang hingga kini bisa kita jumpai. “Meriam
bumbung digunakan dari atas kapal untuk mengebom tentara Raden Intan, karena
alam yang bergunung-gunung,” kata Budi Supriyanto.
Meriam bumbung ini digunakan untuk pertempuran jarak
jauh. Biasanya digunakan di benteng melalui bastion (lubang kecil untuk
menginting musuh) atau bias juga digunakan diatas kapal perang. Kala itu
Karesidenan Krui dan Tanjungkarang merupakan kota pesisir yang strategis bagi
Belanda. Maka tak mengherankan jika, Meriam Bumbung yang terpajang di museum
ini ditemukan di daerah Cukuh Balak, Tanggamus. Konon, meriam-meriam bumbung
ini masih banyak dimiliki warga. Baik untuk upacara adat maupun untuk koleksi
pribadi. “Masih banyak masyarakat Lampung yang memiliki meriam ini, terutama di
daerah-daerah yang diduduki Belanda,” kata dia.
Meriam Bumbung tampak kokoh
Meriam bumbung yang dimiliki museum Lampung ada
sekitar 7 buah. Namun, yang terpajang hanya 3. Sementara yang lainnya akan
dikeluarkan saat ada acara-acara tertentu. Bahan pembuatan meriam ini adalah
tembaga dan ada juga yang terbuat dari besi. Meriam ini langsung didatangkan
dari Belanda dengan teknik pembuatan menggunakan system cor. Tebal bibir
selongsong meriam ini sekitar 7-10 cm, sedangkan tebal bagian dalamnya mencapai
3-4 cm. panjang meriam yang dipakai pada tahun 1850 ini mencapai 1-1,40 cm.
Berat meriam ini mencapai 2 ton dan butuh sekitar 6 orang untuk mengangkatnya.
“Meriam ukuran kecil saja, butuh empat orang untuk mengangkatnya, itu pun masih
terlalu berat, hehehe,” kata Budi Supriyanto menutup perbincangan.
0 komentar:
Posting Komentar