Rabu, 18 Juni 2014

Wisata Budaya : Ngarak Maju




 Ngarak Maju, Maju sedang diarak menuju Gedung Dalom


Masyarakat Lampung pesisir masih terus melestarikan budaya mereka dalam setiap perhelatan pesta adat digelar. Budaya itu diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Mereka berusaha menerjang arus globalisasi yang kian merongrong warisan budaya leluhur. Nyatanya masyarakat pekon Sukajadi Marga Pertiwi, Cukuh Balak di Marga Pugung, Tanggamus masih bisa terus melestarikan budaya daerahnya. 

Nayuh merupakan pesta adat Lampung pesisir yang dilaksanakan secara besar-besaran. Banyak rangkaian prosesi yang harus dijalani oleh maju dan bunnting. Maju merupakan sebutan untuk pengantin perempuan sedangkan bunnting merupakan sebutan untuk pengantin pria. Prosesi ngarak maju diawali dengan mengarak kedua pengantin dari gedong dalom menuju rumah sesepuh adat setempat. Gedong dalom sendiri merupakan rumah mempelai pria yang akan melaksanakan nayuh. Kebetulan mempelai pria merupakan keturunan saibatin atau pimpinan tertinggi di kebandaran setempat. Asrori dan Eka demikian nama kedua pengantin yang melaksanakn prosesi ngarak maju. 



 Pincak Khakot berada di barisan paling depan


Sesampainya di rumah sesepuh adat setempat maju dan bunnting langsung berganti pakaian adat Lampung pesisir. Begitu pun para panakauan akan berganti pakaian juga. Panakauan merupakan muli dan bebai yang masih memiliki garis keturunan saibatin. Merekalah yang turut dalam prosesi ngarak maju. Selepas berganti pakaian mereka langsung diarak menuju gedung dalom. Ciri yang paling menonjol yakni maju dan panakauan mengenakan sigoh dan bunnting mengenakan iket pujuk. Sigoh merupakan mahkota khas Lampung yang dipakai oleh mempelai wanita sedangkan iket pujuk merupakan kain penutup kepala untuk bunnting dengan bagian yang lancip pada bagian atasnya.

Mempelai wanita diarak menggunakan juli. Juli ini merupakan semacam tandu khas Lampung yang ditutup menggunakan kebung (kelambu) berwarna putih dan transparan. Juli ini tidak sembarangan bisa dipakai oleh mempelai pengantin. Hanya keluarga keturunan saibatin-lah yang bisa menggunakan juli ini. Pemilihan warna putih juga bukan sembarangan. warna putih dalam setiap perhelatan adat menunjukkan bahwa itu milik saibatin. Hanya keturunan saibatin yang bisa menggunakan warna putih saat acara adat berlangsung. Masyarakat Lampung pesisir memang memiliki simbol-simbol yang kuat dengan penggunaan warna-warna tertentu dalm perhelatan adat.

 
 Maju dan Butting, berada di depan juli dan siap diarak


Selama prosesi ngarak, dimana pengantin wanita diarak menggunakan juli, mempelai pria berjalan bersama panakauan di belakang mempelai wanita. Berbagai dendang dan syair-syair khas Lampung pun didendangkan. Persis berada di depan pengantin wanita yang diarak ada rombongan penabuh rebana dan pelantun lagu. Mereka bernyanyi penuh riang gembira mengiring maju dan bunnting.



Maju berada di dalam juli yang ditutupi dengan kebung handak
 

Sementara didepan penabuh rebana ada muli mekhanai yang menarikan khudat.  Khudat ini harus ditampilkan dalam perhelatan adat keturunan saibatin. Para mekhanai memakai sapu tangan yang mereka gerakan sesuai irama tabuh rebana. Sementara para muli dilengkapi dengan selendang yang juga digerakan sesuai irama. Mereka menari sangat kompak dan penuh dengan suka cita. Gerakan mereka sangat sederhana namun begitu lincah dan energik sehingga enak dilihat. Mereka terus menari sambil berjalan di kedua sisi maju yang sedang diarak. Mereka berbaris rapih memanjang mengikuti alur jalan yang mereka lalui.


 
Khudat juga turut ditampilkan, tampak muli memegang selendang 


Pincak Khakot berada di barisan paling depan. Mereka memperagakan gerakan pincak khakot yang begitu khas menggunakan sebilah pedang. Pakaian yang dikenakan oleh para pesilat Lampung ini yakni hinjang bulipat dan iket pujuk. Hinjang bulipat ini merupakan kain sarung yang dilipat dan dikenakan hingga sebatas lutut. Mereka pun sangat sigap dan cekatan mengikuti tabuh rebana yang terus ditabuh dengan penuh semangat.  Para pesilat Lampung ini baru akan berhenti saat mereka sampai di Gedung dalom. 


 
Pincak Khakot juga turut ditampilkan


Sesampainya di depan gedong dalom, maju kemudian diturunkan dan mulai berjalan diatas talam. Talam ini merupakan kuningan yang dibuat pipih dan lebar dengan sedikit ornamen khas Lampung di bagian pinggirnya. Sebelum maju berjalan diatas talam, tanah dilapisi menggunakan appai (tikar), kemudian dipasangkan kain putih diatasnya dan talam diletakkan pada kain putih yang dibentangkan hingga menuju depan pintu. Maju dan bunnting tidak diperkenankan menginjak tanah selama prosesi ini berlangsung. Talam itu terus dipindahkan dari satu langkah menuju langkah berikutnya hingga kedua mempelai sampai di depan pintu. Prosesi ini merupakan bentuk kehormatan untuk kedua mempelai.



 Maju sedang berjalan di atas talam


Inilah saatnya pattun setimbalan dilaksanakan. Ada tetua adat setempat yang menggunakan salam pembukaan sebelum kedua mempelai memasuki gedong dalom. Nantinya akan ada yang membalas salam pembuka yang dilantunkan oleh tetua adat setempat. Saat sudah dibalas, maka keduanya langsung mengikuti proses selanjutnya. Itulah gambaran prosesi ngarak maju yang dilakukan oleh anak saibatin di pekon Sukajadi Marga Pertiwi, Cukuh Balak di Marga Pugung, Tanggamus. 

Wisata Budaya : Pangan, simbol kebersamaan masyarakat Lampung Pesisir















Tradisi pangan hingga kini terus dilestarikan oleh masyarakat Lampung pesisir dalam setiap upacara adat Nayuh digelar. Nayuh sendiri merupakan pesta adat suku Lampung pesisir yang dilaksanakan saat pernikahan maupun sunatan. Biasanya nayuh dilaksanakan selama 3-5 hari dengan berbagai prosesi yang harus dilewati. Maka tak mengherankan jika nayuh membutuhkan dana yang tak sedikit. Salah satu prosesi adat dalam rangkaian Nayuh yakni pangan.

Pangan merupakan acara makan bersama yang dilaksanakan setelah para battu bebai/bakas melaksanakan tugasnya. Battu bebai/bakas sendiri merupakan pria dan wanita yang turut mensukseskan acara nayuh. Bebai dalam bahasa Lampung berarti wanita sedangkan bakas berarti pria. Battu sendiri merupakan kegiatan bantu-membantu.

Pangan merupakan simbol kebersamaan masyarakat Lampung pesisir. Semua makanan dibagi sama rata. Semua warga yang hadir harus mengikuti tradisi pangan. Termasuk tamu-tamu undangan yang hadir pun biasanya turut diajak mengikuti pangan. Prosesi pangan diawali dengan digelarnya seprai. Seprai merupakan kain berbentuk segi panjang dengan panjang 1-5 meter yang dibentangkan diatas tikar. Warna seprai yang digunakan tidak boleh sembarangan. Warna putih hanya digunakan oleh para saibatin dan keturunannya. Sementara warna kuning digunakan untuk pangikhan dan warna ungu untuk khadin. 

Setelah kain panjang itu dibentangkan biasanya para butting nabai dan kepala battu akan menyiapkan hidangan. Butting nabai merupakan keluarga dari pihak ayah mempelai lelaki yang bertugas mengurus segala keperluan dapur. Sementara kepala battu merupakan pihak dari ibu mempelai pria yang bertugas menata, menyusun dan menyiapkan segala keperluan konsumsi selama nayuh berlangsung. Disinilah kerjasama antar keluarga begitu kentara dan membuat mereka makin solid.

Berbagai aneka makanan kini tersedia diatas seprai. Mi (nasi), kukhih (sayaur mie yang dicampur kacang merah) hingga seruit gulai kalang juga bisa dihidangkan. Mereka makan bersama-sama dengan penuh kesederhanaan dan kegembiraan. Semuanya mendapatkan jatah makan yang sama. Jika ada lauk-pauk maupun makanan yang tersisa biasanya akan dibawa pulang oleh para peserta pangan. Selepas pangan merka membersihkan seprai dan membawa piring mereka masing-masing untuk ditaruh di dapur. Jadi, benar-benar tak ada yang tersisa, mereka saling menjaga tanggung jawab. Hal ini tentunya memudahkan proses pembersihan. 

Itulah gambaran tradisi pangan yang masih dilestarikan oleh masyarakat pekon Sukajadi Marga Pertiwi, Cukuh Balak di Marga Pugung, Tanggamus. Masyarakat beradatkan pesisir ini terus melestarikan tradisi pangan dalam setiap pesta adat digelar. 

Selasa, 17 Juni 2014

Wisata Budaya : Mahan Hangal Pubian





 Mahan Hangal Pubian


Rumah merupakan bagian tak terlepaskan dalam kehidupan masyrakat. Setiap suku memiliki keragaman dan kekhasan bentuk rumahnya masing-masing. Salah satu masyarakat yang memiliki bentyuk rumah yang khas yakni masyarakat Lampung di pekon Rantau Tijang Kecamatan Pugung, Tanggamus. Masyarakat di sini merupakan keturunan Lampung pubian yang memiliki ikatan kuat dengan masyrakat Lampung pubian di Lampung Tengah. Konon, dari sanalah puyang mereka hijrah dan kemudian menetap di sini.

Masyarakat Lampung pubian ini memiliki bentuk rumah tradisional yang khas. Masyarakat setempat menyebut rumah dengan sebut Mahan. Mengingat bentuknya yang tinggi maka masyarakat setempat menyebutnya Mahan Hangal yang berarti rumah tinggi. Rumah tradisional ini dihuni oleh 2 kepala keluarga. Sepintas bentuk rumah ini seperti rumah betang suku Dayak yang berbentuk memanjang. Arpis dan Suwanhar telah mentepa di rumah ini berpuluh-puluh tahun yang lalu. Namun, rumah ini dibangun oleh kakek mereka. Usianya hingga kini mencapai 120 tahun. Tidak ada angka pasti yang menyebutkan berdirinya rumah ini. Hanya tertera angka tahun keberangkatan haji kakek mereka yakni tahun 1920 dan 1930. Angka tahun itu tertera pada bagian penopang tiang penyangga rumah yang bercampur dengan tulisan aksara Lampung. 


 
 Mahan Hangal dengan kayu cendana yang masih kokoh

Mahan Hangal ini sangat kuat dan kokoh. Walaupun telah berusia satu abad lebih namun rumah ini masih berdiri kokoh dan kuat. Hanya pada beberapa bagian rumah yang sudah tampak rapuh. Namun, secara keseluruhan rumah ini masih sangat kuat. Mahan Hangal ini berbentuk rumah panggung. Tinggi tiang penopang rumah sekitar 2 meter lebih. Ada sekitar puluhan tiang penopang kayu. Konon, kayau yang digunakan untuk pembuatan rumah ini menggunakan kayu cempaka yang memang khusus untuk konstruksi bangunan rumah. Kayu Cempaka banyak ditemukan di hutan-hutan sekitar kala itu. Maka tak mengherankan jika hampir 90 persen bangunan rumah ini terbuat dari kayu. Mulai dari tiang pengangga rumah, lantai hingga langit-langit rumah. Furnitur pelengkap rumah puluhan tahun lalu itu pun masih bisa ditemukan di dalam Mahan Hangal ini.



 
 Ruang tamu tempat bercengkrama


Ada beberapa bagian yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari dalam rumah ini. Pada bagian depan misalnya biasanya digunakan oleh para muli dan bebai untuk mengobrol dan berdiskusi setelah seharian beraktivitas. Mereka biasanya menggelar appai (tikar) di bagian depan rumah ini. Teras ini bentuknya sangat panjang dan lebar, jadi sangat cocok untuk acara-acara kumpul bersama keluarga besar. Tak jarang mereka juga duduk-duduk di tiang pembatas yang menyerupai pagar setengah tiang. 

Ada 2 tangga pada bagian depan yang menandakan bahwa rumah ini dihuni oleh 2 kepala keluarga. Mahan Hanggal ini memang sedikit berbeda dengan rumah tradisional Lampung pada umumnya yang hanya dihuni oleh satu kepala keluarga saja. Hanya ada ruang pembatas saja yang terletak di bagian tengah. Ornamen khas Lampung begitu kentara pada bagian depan rumah. Ada besi yang dibuat sesuai dengan ornamen Lampung yang digunakan untuk penyangga atap bagian teras rumah. Sementara pada bagian atap depan terdapat ukiran semacam tikhai yang begitu khas Lampung.



 
 Teras Mahan Hangal tempat berkumpul para muli khik bebai


Bagian ruang tamu juga bisa digunakan orangtua mengobrol dengan sanak saudara. Pada ruang tamu di Mahan Hangal ini banyak ditemukan ornamen-ornamen masa lalu seperti patung tanduk rusa, hiasan lampu-lampu tempo dulu, kopiah emas untuk upacara adat hingga pernak-pernik khas Lampung lainnya. Barang-barang itu tersimpan rapih di dalam lemari sebagian lagi mereka pajang di dinding ruang tamu.
Walaupun dihuni oleh  dua keluarga besar namun masing-masing rumah memiliki keunikan masing-masing. Pada bagian rumah milik Suwanhar ini misalnya, pada bagian dinding kamar tidur yang terbuat dari kayu terdapat tulisan arab. Saat Lampung post membacanya itu berisi syair-syair yang ditujukan kepada pencipta alam semesta yang biasa dilantunkan saat-saat acara adat digelar.


 
 Tulisan Bahasa Arab tampak di dalam kamar milik Suwanhar


Sementara pada bagian rumah milik Arpis gelar Suntan Pangikhan Darmawan ini masih memiliki banyak benda-benda berornamen Lampung. Kursi kayu dan juga meja batu marmer juga masih kokoh dan dipajang di bagian rumah tamu. Perkakas ini masih bisa digunakan sebagaimana mestinya. Selain itu ada tanduk rusa, kopiah emas dan benda-benda khas Lampung lainnya.
 
 
 Ruang tamu milik Arpis gelar Suntan Pangikhan Darmawan

Secara keseluruhan rumah ini memiliki tinggi sekitar 10 meter. Rumah ini memang tampak berbeda dengan rumah-rumah disekitarnya. Sekarang memang jarang sekali masyarakat yang membuat Mahan Hangal ini. Rata-rata mereka membuat rumah pada umumnya. Namun, di Rantau Tinjang masih bisa ditemui rumah-rumah tradisional Lampung yang memiliki karakteristik tersendiri. Rumah-rumah itu terletak di sepanjang jalan Rantau Tinjang menuju arah Kota Agung. 

Atap rumahnya sangat besar mengikuti bentuk Mahan Hangal ini. Pada bagian atapnya menggunakan genting. Secara keseluruhan bangunan Mahan Hangal ini sangat unik dan tampak mencolok dibandingkan rumah-rumah lainnya di sekitarnya. Selain tingginya rumah ini juga bentuknya yang sangat khas dengan hiasan ornamen Lampung. Mahan Hangal ini harus terus dijaga sebagai bentuk simbol Budaya Lampung Pubian.

Wisata Kuliner : Sepunakh, menu spesial khusus Butamat



 Sepunakh/ punakh, menu khas saat Butamat

Sepunakh merupakan makanan tradisional masyarakat Lampung pesisir yang wajib ada saat prosesi Butamat (mengkhatamkan al-qur’an) berlangsung. Sepunakh terdiri dari nasi ketan berwarna kuning yang dibuat melingkar dan dilengkapi ayam bekakakh. Nasi ketan yang berwarna kuning diperoleh dengan pewarna alami dari kunyit. Sedangkan ayam bekakakh merupakan ayam bakar yang telah dibuang isinya. Ayam bakar ini kemudian direnggangkan hingga bentuknya lebar. Biasanya ayam bekakakh ini disajikan diatas nasi ketan namun terkadang juga dipisahkan dengan pinggan (piring) tersendiri.

Sepunakh hanya ada saat prosesi butamat, di luar prosesi ini tidak ditemukan menu khas Lampung satu ini. Selepas prosesi butamat sepunakh akan dimakan bersama-sama oleh para peserta butamat yang ikut saat prosesi ngarak kabayan (pengantin). Berikut ini sepunakh yang dihidangkan saat prosesi butamat dalam rangkaian nayuh Alpiandi gelar khadin suku negakha dan Anita gelar Minak Khanggom. Mereka merupakan keturunan ke-5 Buay Turgak ( Tekhuggak) dari Belalau, Lampung Barat. Kini mereka tinggal di pekon Kampung Baru Kecamatan Kota Agung Timur, Tanggamus.

 
 Ayam Bekakakh diatas nasi ketan

Bahan Sepunakh
- 1 kg beras ketan
- 1 gelas santan kelapa murni
- Garam secukupnya
- Kunyit secukupnya
- 1 ekor ayam kampong

Cara membuat
Pertama-tama beras ketan direndam selama satu jam. Sambil menunggu, kupas kunyit yang nantinya akan digunakan sebagai pewarna alami dan diambil sarinya saja.

Beras yang sudah direndam kemudian diangkat dan dimasak dengan cara diaron yakni dimasak setengah matang menggunakan dandang. Sembari menunggu, parut kelapa dan ambil santannya hingga satu gelas.

Setelah sudah setengah matang angkat beras ketan tadi, kemudian dicampur santan dan sari kunyit. Setelah semuanya tercampur merata, beras ketan setengah matang ini kemudian dimasak kembali selama 2 jam.
Agar hasilnya maksimal dan alami gunakan kayu bakar saat memasak hingan sepunakh. Jika nasi ketan sudah matang maka siap dibentuk bulat dan ditaruh diatas pinggan.

Sedangkan untuk pembuatan ayam bekakakh dibakar seperti biasa memanggang ayam dan bumbu ayam pada umumnya. Kini sepunakh siap dihidangkan.





Pages