Jumat, 25 Desember 2015

Cerita tentang Pantai Timang dan Gondola part.2

Baiklah saya akan melanjutkan cerita tentang Gondola. Kalian jangan membayangkan gondola yang biasa berseliweran di sungai sepanjang Kota Venesia, Italia. Tak akan pernah Anda temui di sini.
Gondola merupakan kereta gantung tradisional yang awalnya digunakan oleh nelayan setempat untuk menangkap lobster di Pulau Watu Panjang. Pulau mungil berbentuk batuan ini terletak di tengah laut. Nah, melalui Gondola inilah Anda bisa sampai ke pulau yang sering dijadikan objek foto ini. Namun, tak ada yang gratisan di sini. Anda harus merogoh kocek cukup dalam. Rp. 150ribu harus Anda keluarkan untuk bolak-balik dari dan ke Pulau Watu Panjang. 

Seru-seru tegang, kali ya naik Gondola. Harga yang susah dinego ditambah biaya hidup yang semakin tinggi membuatku mengurungkan niat naik transportasi unik ini. Memang harus hidup hemat untuk bisa sampai ke banyak tempat yang kita inginkan. Perjalanan harus dipikirkan dan direncanakan dengan benar, agar tak kehabisan uang, haha.
Pantai Timang memang tengah populer.Media memang sering meliput pantai yang cantik ini. Walaupun rasa capek dan lelah mendera, semua akan terbayarkan dengan segala keeksotisan yang dimiliki pantai ini.

Ayo, ke Pantai Timang, kawan . . .!!!

Tradisi Saparan, ini lagi Lebaran ?

Pagi mulai beranjak. Suasana Dusun Windusajan berbeda dengan hari-hari biasanya. Jalanan ramai disesaki orang yang berlalu-lalang. Pakaian baru nan indah mereka kenakan. Jilbab aneka bentuk dan warna dipakai para wanita-wanita keturunan jawa itu. Anak-anak tampak berlarian. Sebagian yang lain mengerubungi para penjual mainan yang menjadi pasar dadakan. Pintu-pintu rumah terbuka lebar. Senyum merekah tampak dari wajah mereka, menyambut para tamu yang datang bergantian. Tersaji aneka kue dan hidangan khas lebaran. Aneka olahan daging juga disuguhkan. Suasananya benar-benar meriah.

Satu hal yang aku heran, ini bukan hari raya umat islam. Bahkan, bulan muharam baru saja tenggelam. Tak ada takbiran apalagi salat id di lapangan. Aku baru tersadar jika kini aku di Tanah Orang Jawa yang tengah merayakan Saparan. Walaupun aku juga keturunan jawa, namun di tanah kelahiranku, Lampung, tak pernah kudengar tradisi ini. Ini sebuah kebiasaan masyarakat yang baru pertama kali kulihat seumur hidupku.

Aku berkunjung ke rumah Pak Mardi (82) di Dusun Windusajan Kelurahan Wonolelo Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Satu dari 18 dusun di Wonolelo yang merayakan tradisi ini. Menurut kakek sepuh ini, Saparan merupakan tradisi masyarakat Jawa yang konon hanya ditemukan di sekitar dusun-dusun di Lereng Merapi dan Merbabu. Sebagian yang lain mengatakan inilah cara orang gunung “berlebaran”. Tak ada tanggal yang pasti dalam perayaan tradisi yang telah berusia ratusan tahun ini. Sepanjang bulan Sapar (Safar) acara boleh digelar dan dilakukan secara bergantian antar dusun yang satu dengan yang lainnya.

Berbeda dengan Hari Raya Idul Fitri dimana tamu bebas berkunjung kemana saja. Saat Saparan biasanya tamu yang datang ke rumah merupakan tamu yang telah diundang sehari sebelum acara berlangsung. Namun, tuan rumah juga dengan senang hati menyambut tamu asing yang datang. Masyarakat di sini sangat senang kedatangan orang-orang dari luar daerah mereka. Hal itu saya rasakan saat berkunjung ke rumah Pak Mardi, saya diperlakukan dengan sangat baik layaknya keluarga sendiri. Aneka kue khas lebaran plus menu makanan berat disuguhkan. Kalau sudah begini, siapa yang bisa menolak? Hehehehe.

Beberapa dusun yang lain juga mengadakan tradisi semacam ini namun di Bulan Rejeb (Rajab). Masyarakat menyebutnya Rejeban. Beberapa dusun yang merayakan Saparan diantaranya Windusajan, Wonodadi, Panggungan, Plutungan, Pelem, Sanden, Kelir dan Gratan. Sementara Rejeban berlangsung di Dusun Surodadi, Candran, Batur, Malang, Ndeno’an, Bentro’an, Nggagrong dan Windusabrang.

Beberapa ancak pepa’ang (sesajen lengkap) diletakkan di sudut-sudut perempatan jalan dusun mungil itu. Ancak pepa’ang itu harus berisi kolowijo dan iwak kala. Kolowijo berupa keladi, pisang, kimpul dan centik. Sementara iwak kala merupakan daging sapi yang dipotong kecil-kecil ditusuk menggunakan bilahan bambu. Sepintas mirip dengan daging sate. Selain diletakkan di perempatan jalan ancak ini juga diletakkan di sumber-sumber air. Konon, ancak ini dipersembahkan untuk Danyang (Kepercayaan Kejawen).

Aku banyak belajar dalam setiap perjalanan yang kulewati. Belajar mengenai nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran. Bahkan, belajar dari sebuah sikap yang salah, namun, bukan untuk diikuti. Lalu mengambil sikap bagaimana seorang muslim seharusnya bersikap. Lalu, aku bertanya kepada seorang ustadz yang kuat memegang sunnah dan telah hafidz quran yang bersanad. Sang ustadz mengatakan menjalin silaturahmi antar sesama saudara itu bagus. Bahkan dianjurkan dalam islam. Namun, jika harus mempersembahkan sesajen seperti contoh diatas itu termasuk perbuatan musyrik yang harus dihindari oleh setiap muslim. Memberikan ancak pepa’ang kepada Danyang itulah letak perbuatan syiriknya. Itulah yang harus ditinggalkan.

Aku kini tersadar ternyata masih banyak hal yang harus dilakukan oleh para pemuda muslim. Bepergianlah ke berbagai negeri, teguklah ilmu sepuas-puasnya lalu sampaikan kepada yang lain dengan cara yang baik. Masih mau berdiam diri di rumah ? Islam itu indah, bro. Ayo ramaikan masjid-masjid kita dan datangilah majlis-majlis ilmu di tempatmu.
Abu Hurairah ra. Berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya ke surga.” (h.r. Muslim)

Melipir ke Taman Nasional Gunung Merapi


Kala kanak-kanak dulu aku sering melihat sinetron kolosal berjudul Misteri Gunung Merapi. Salah satu tokoh utamanya adalah Mak Lampir. Kala itu aku percaya-percaya aja dengan sinetron tersebut. Jalan cerita dalam sinetron tersebut masih terngiang-ngiang di benakku. Tak bisa hilang. Mungkin kalian juga demikian? ‪#‎Mungkin‬

Kini, setelah kuberanjak dewasa, ternyata itu hanya kisah yang dibuat-buat saja. Taman Nasional Gunung Merapi kutapaki, tapi tak ada Mak Lampir di sini. Bayang-bayang sinetron itu seakan langsung memudar. Semuanya tak benar. 

Kini aku tersadar, apa yang terlihat di layar televisi tak semuanya benar. Sebagai penonton kita harus selektif dalam programnya acara. Pilihlah tayangan-tayangan yang mendidik dan religi. Agar jiwa kita segar kembali. Jika, tidak sebaiknya matikan saja TV Anda. ‪#‎Pangapunten‬ ‪#‎Sorry‬ ‪#‎Afwan‬ ‪#‎Klamit‬

Pertama kali Mendaki, Seru sekaligus bikin ketagihan


Ayo besok kita mendaki Merbabu, sebelum ane balik ke Samarinda, seru Ka Mufid, selasa malam lalu. Alhasil, disepakatilah hari ini (Rabu, 16/12/15) aku beserta 3 rekan lainnya mendaki Gunung Merbabu.

Ini pengalaman pertamaku mendaki gunung. Tak ada persiapan apa-apa semuanya serba instan. Pagi-pagi sekali kami membuat bekal untuk perjalanan ini.
Kami mendaki Merbabu via Suwanting, Sawangan. Salah satu jalur pendakian yang baru dibuka awal tahun ini. Namun, jalur pendakian ini sudah ramai dan banyak dikenal orang. Setiap pekannya para pendaki bisa mencapai 200 orang. Wow, amazing.

Tepat pukul 08.45 kami memulai pendakian, setelah sebelumnya melakukan registrasi dan pendaftaran di base camp. Setiap pendaki dikenai biaya Rp. 10ribu. Mulai dari base camp menuju pos 1 treknya lumayan ringan. Kita membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai pos yang dikenal dengan Lemba Lempong ini. Pohon pinus banyak tumbuh di sini. Ini salah satu spot yang bagus untuk foto-foto.

Sedangkan dari pos 1 menuju pos 2 kita membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Medan yang harus dilalui lumayan terjal. Kita akan melalui beberapa pos kecil seperti Lemba Gosong, Lemba Cemoro, Lemba Ngrijan dan sampailah di Pos 2 yang dikenal dengan Lemba Mitoh. Pokoknya lumayan bikin ngos-ngosan.

Kami langsung santap siang setibanya di Pos 2 ini. Lumayan buat cadangan perjalanan menuju Pos 3. Baru sekitar 1 jam berjalan dari Pos 2 hujan turun sangat deras. Alhamdulillah, bawa jas hujan.
Walau hujan turun begitu deras namun trek yang kami lalui tidaklah licin. Perjalanan menuju pos 3 merupakan yang paling berat dan melelahkan. Jalanan sempit, terjal dan tak beraturan. Bahkan, mendekati Pos yang dikenal dengan Dampo Awang ini, kita harus melalui perbukitan yang miring. Huh, benar-benar trek yang susah.

Puncak tertinggi di Merbabu adalah Kenteng Songo. Kami hanya mendaki sampai Bukit Sabana. Hal ini kami pilih lantaran kami tidak bermalam di sini.

Mereguk Indahnya Islam di Kampung Muslim Batikan


Kali ini saya berhasil menyesap kesegaran sinar islam di Kampung Muslim Dusun Batikan Desa Pabelan Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kehidupan muslim di sini sungguh mempesona. Masyarakat di kampung ini berusaha menerapkan ajaran islam sesuai yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para Salafus Shalih. Menurut Ustadz Abu Zaid, humas dari kampung ini mengatakan generasi salafus shalih merupakan generasi yang terdiri dari para Sahabat nabi, tabiin dan tabiut tabiin serta merupakan sebaik-baik qurun (masa). 

Gadis-gadis mungil seusia anak-anak sekolah dasar tampak asyik bermain di sepanjang jalan di Kampung Batikan. Sorot matanya begitu tajam dibalik cadar hitam yang menyelimuti tubuh kecil mereka. Beberapa diantara mereka ada juga yang hanya mengenakan jilbab lebar. Mereka bermain riang gembira, saling kejar kesana kemari, seperti kupu-kupu yang mencari nektar di taman bunga.
Jarang terlihat wanita dewasa keluar rumah jika tidak ada keperluan yang sangat penting. Jika mereka terpaksa harus keluar rumah, biasanya mereka mengenakan cadar yang dilapisi dengan kain penutup mata transparan. Sehingga seluruh wajahnya tak tampak. Inilah yang dinamakan Burqa. Para ibu biasanya mengurus rumah, mempersiapkan hidangan untuk suami-suami tercinta. Menyambut dengan senyum merekah saat suami tiba di istana mereka. Mendidik anak dengan bekal agama tanpa melupakan dunia menjadi acuannya. Subhanalloh.

Saat waktu salat tiba, para pria dan anak-anak berhamburan keluar, muncul dari gang-gang di dusun yang terletak tak jauh dari Kota Muntilan itu. Ada yang bersepada, ada juga yang berkendara roda dua maupun berjalan kaki. Mereka banyak yang mengenakan gamis lengkap dengan celana diatas mata kakinya. Masjid penuh sesak dengan jamaah pria dan anak-anak. Masya Alloh.
Anak-anak semuanya bersekolah di kampung ini. Ada beberapa kelas yang dipelajari mulai dari pelajaran umum hingga hafala Alquran. Saat senja tiba biasanya anak-anak bermain bola di lapangan di tengah kampung mereka. Mereka semuanya juga tidak isbal (melabuhkan celana/kain dibawah mata kaki mereka). Oya, jika Anda berkunjung ke sini, dilarang berfoto. Mereka menerapkan aturan kehati-hatian. Foto hanya diperbolehkan untuk hal-hal penting saja misal pembuatan KTP, KK, Paspor maupun kepentingan urgent lainnya.

Salam ditebar di sepanjang jalan, kenal tidak kenal semuanya saling mengucapkan salam sebagai tanda saling mendoakan. Budaya menebarkan salam menjadi bagian penting bagi kampung yang didirikan pada tahun 1994 oleh Khalid Ahmad ini. Maka tak heran jika kampung yang memiliki lebih dari 100 KK ini layak menjadi kampung percontohan dalam menerapkan syariat islam.

Pesona Kembang Gunung di Jalur Pendakian Merbabu


Ternyata mendaki sambil hunting foto bisa membuat perjalanan semakin nikmat. Pengalaman pertama kali mendaki ke Gunung Merbabu membuat saya ketagihan untuk mendaki gunung-gunung lainnya. Tapi, tak hanya sekedar mendaki, ingin rasanya kembali hunting foto bunga-bunga unik di sepanjang trek pendakian yang dilalui.

Perjalanan ternyata banyak memberikan pengalaman yang tak bisa dibeli oleh uang. Melihat “maha karya” Alloh SWT yang tersebar di berbagai belahan bumi akan membuat kita semakin dekat dengan-Nya. Kita bukanlah siap-siapa dihadapannya. Apapun dan bagaimanapun diri kita, tetap yang dinilai disisi-Nya hanyalah amal kita. So, ayok banyak-banyak beramal dengan ikhlas dan sesuai contoh Rasululloh.

Inilah bunga-bunga cantik ciptaan Alloh SWT yang sempat saya bidik lewat lensa kamera. Aslinya sih menurut saya lebih cantik lagi. Nggak percaya ? Langsung aja datang ke sini. Hehehehehe.
Masyarakat sekitar juga menyebut tanaman ini unik-unik. Ada stroberry hutan yang dikenal dengan uci-uci. Ada cacar hutan, manding, khadut, pakis wulu, rengginang, sinduro, cokro gondok, krisan dan anggrek hutan. Masya Alloh.
Jadi, siapa bilang hanya Kembang Desa yang mempesona ? Kembang Gunung juga bisa membuat Anda tergila-gila

Pages