Pagi mulai beranjak.
Suasana Dusun Windusajan berbeda dengan hari-hari biasanya. Jalanan
ramai disesaki orang yang berlalu-lalang. Pakaian baru nan indah mereka
kenakan. Jilbab aneka bentuk dan warna dipakai para wanita-wanita
keturunan jawa itu. Anak-anak tampak berlarian. Sebagian yang lain
mengerubungi para penjual mainan yang menjadi pasar dadakan. Pintu-pintu
rumah terbuka lebar. Senyum merekah tampak dari wajah mereka, menyambut
para tamu yang datang bergantian. Tersaji aneka kue dan hidangan khas
lebaran. Aneka olahan daging juga disuguhkan. Suasananya benar-benar
meriah.
Satu hal yang aku heran, ini bukan hari raya umat islam.
Bahkan, bulan muharam baru saja tenggelam. Tak ada takbiran apalagi
salat id di lapangan. Aku baru tersadar jika kini aku di Tanah Orang
Jawa yang tengah merayakan Saparan. Walaupun aku juga keturunan jawa,
namun di tanah kelahiranku, Lampung, tak pernah kudengar tradisi ini.
Ini sebuah kebiasaan masyarakat yang baru pertama kali kulihat seumur
hidupku.
Aku berkunjung ke rumah Pak Mardi (82) di Dusun
Windusajan Kelurahan Wonolelo Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang,
Jawa Tengah. Satu dari 18 dusun di Wonolelo yang merayakan tradisi ini.
Menurut kakek sepuh ini, Saparan merupakan tradisi masyarakat Jawa yang
konon hanya ditemukan di sekitar dusun-dusun di Lereng Merapi dan
Merbabu. Sebagian yang lain mengatakan inilah cara orang gunung
“berlebaran”. Tak ada tanggal yang pasti dalam perayaan tradisi yang
telah berusia ratusan tahun ini. Sepanjang bulan Sapar (Safar) acara
boleh digelar dan dilakukan secara bergantian antar dusun yang satu
dengan yang lainnya.
Berbeda dengan Hari Raya Idul Fitri dimana
tamu bebas berkunjung kemana saja. Saat Saparan biasanya tamu yang
datang ke rumah merupakan tamu yang telah diundang sehari sebelum acara
berlangsung. Namun, tuan rumah juga dengan senang hati menyambut tamu
asing yang datang. Masyarakat di sini sangat senang kedatangan
orang-orang dari luar daerah mereka. Hal itu saya rasakan saat
berkunjung ke rumah Pak Mardi, saya diperlakukan dengan sangat baik
layaknya keluarga sendiri. Aneka kue khas lebaran plus menu makanan
berat disuguhkan. Kalau sudah begini, siapa yang bisa menolak? Hehehehe.
Beberapa dusun yang lain juga mengadakan tradisi semacam ini
namun di Bulan Rejeb (Rajab). Masyarakat menyebutnya Rejeban. Beberapa
dusun yang merayakan Saparan diantaranya Windusajan, Wonodadi,
Panggungan, Plutungan, Pelem, Sanden, Kelir dan Gratan. Sementara
Rejeban berlangsung di Dusun Surodadi, Candran, Batur, Malang, Ndeno’an,
Bentro’an, Nggagrong dan Windusabrang.
Beberapa ancak pepa’ang
(sesajen lengkap) diletakkan di sudut-sudut perempatan jalan dusun
mungil itu. Ancak pepa’ang itu harus berisi kolowijo dan iwak kala.
Kolowijo berupa keladi, pisang, kimpul dan centik. Sementara iwak kala
merupakan daging sapi yang dipotong kecil-kecil ditusuk menggunakan
bilahan bambu. Sepintas mirip dengan daging sate. Selain diletakkan di
perempatan jalan ancak ini juga diletakkan di sumber-sumber air. Konon,
ancak ini dipersembahkan untuk Danyang (Kepercayaan Kejawen).
Aku
banyak belajar dalam setiap perjalanan yang kulewati. Belajar mengenai
nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran. Bahkan, belajar dari sebuah sikap
yang salah, namun, bukan untuk diikuti. Lalu mengambil sikap bagaimana
seorang muslim seharusnya bersikap. Lalu, aku bertanya kepada seorang
ustadz yang kuat memegang sunnah dan telah hafidz quran yang bersanad.
Sang ustadz mengatakan menjalin silaturahmi antar sesama saudara itu
bagus. Bahkan dianjurkan dalam islam. Namun, jika harus mempersembahkan
sesajen seperti contoh diatas itu termasuk perbuatan musyrik yang harus
dihindari oleh setiap muslim. Memberikan ancak pepa’ang kepada Danyang
itulah letak perbuatan syiriknya. Itulah yang harus ditinggalkan.
Aku kini tersadar ternyata masih banyak hal yang harus dilakukan oleh
para pemuda muslim. Bepergianlah ke berbagai negeri, teguklah ilmu
sepuas-puasnya lalu sampaikan kepada yang lain dengan cara yang baik.
Masih mau berdiam diri di rumah ? Islam itu indah, bro. Ayo ramaikan
masjid-masjid kita dan datangilah majlis-majlis ilmu di tempatmu.
Abu Hurairah ra. Berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa
menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya
ke surga.” (h.r. Muslim)
Jumat, 25 Desember 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Pages
Diberdayakan oleh Blogger.
Popular Posts
-
Perahu Jung tempat melabuhkan cinta Sebuah perahu pipih terpajang dalam ruangan lantai II Museum Lampung. Tampak replika patu...
-
Pulau Bule merupakan salah satu pulau dengan pantai yang menawan. Airnya sangat jernih. Pula...
-
Masyarakat Lampung memiliki tradisi yang unik yang tidak dimiliki oleh suku lainnya di Indonesia. Apalagi saat ini kita menge...
-
Tugu Selamat Datang, Kota Pringsewu Suasana siang hari itu di Kota Pringsewu begitu ramai. Cuaca cukup terik, angin sepoi-sepoi ...
-
Meriam Bumbung atau Meriam Lela dipajang di depan Museum Lampung Selongsong ukuran sedang yang menyerupai labu raksana terpajang de...
-
Masyarakat Lampung memiliki berragam tradisi yang masih kuat terjaga hingga kini. Tradisi itu terus dilestarikan agar semakin kuat be...
-
Masyarakat Lampung yang tersebar di berbagai daerah memiliki banyak aneka kue yang sangat lezat. Kue dalam Bahasa Lampung dikenal den...
-
Ngarak Maju, Maju sedang diarak menuju Gedung Dalom Masyarakat Lampung pesisir masih terus melestarikan budaya mereka dal...
-
Ahad , 9 Februari 2014 menjadi hari yang begitu istimewa buat saya. Bagaimana tidak istimewa, impian saya untuk bisa mengunjungi P...
-
Kain tenun Tampan Kain tenun Tampan mulai berkembang sejak masuknya agama islam dan kehidupan masyarakat Lampung. Maka tak menghera...
0 komentar:
Posting Komentar