Kain tenun Tampan
Kain tenun Tampan mulai berkembang sejak masuknya
agama islam dan kehidupan masyarakat Lampung. Maka tak mengherankan kain tenun
inuh ini juga mendapat pengaruh dari kebudayaan islam. Motif yang tertuang
dalam kain tenun tampan yakni kapal, manusia dan aneka binatang seperti
ubur-ubur, burung, gajah, ikan, kura-kura dan lainnya. Umumnya kain ini
berwarna merah dengan paduan sedikit warna biru. Seperti halnya kain tenun inuh
yang dibuat menggunakan jangkrak, kain tenun Tampan juga menggunakan alat yang
sama. Pada zaman dahulu kain ini digunakan untuk menutupi hantaran saat prosesi
lamaran diadakan. Ada juga kain tenun tampan yang memiliki ukuran lebih kecil
akan digunakan untuk menutupin mushaf Alquran. Menurut Zulkifli, pemilik gerai
tapi ruwa jurai ini mengatakan bahwa ada kisah tersendiri mengenai motif yang
tertuang dalam kain Lampung yang telah berusia 150-200 tahun ini. Kapal,
manusia dan aneka binatang serta tumbuhan merupakan bagian tak terpisahkan
dalam kain tenun tampan. Pasalnya, kondisi itu menceritakan sat Nabi Nuh dan
umatnya menghindari banjir bah yang sangat dahsyat. Kisah tentang nabi Nuh
dalam agama Islam tersebut mengilhami terbentuknya kain tenun tampan. “Konon,
motif kain tenun inuh ini mendapat pengaruh dari budaya islam melalui kisah
nabi nuh dan umatnya,” kata dia.
Kain tenun Pelepai / Jung Galuh
Sepintas kian tenu
pelepai hampir sama dengan kain tenun tampan, pasalnya sama-sama didominasi
oleh motif kapal, binatang laut dan manusia. Namun, ternyata kain tenun Pelepai
memiliki perbedaan yang cukup kentara. Kain tenun Pelepai pada bagian kedua
ujungnya pasti akan dihiasi dengan sebuah pohon. Masyarakat mengenalnya dengan
sebutan pohon hayat (pohon kehidupan). Panjang kain tenun pelepai minimal 2
meter yang biasanya akan digunakan saat upacara adat berlangsung. Kain tenun
pelepai berfungsi untuk alas duduk saat prosesi nikahan berlangsung. Biasanya
calon pengantin, keluarga besar, tamu kehormatan dan penghulu duduk diatasnya.
Kain tenun pelepai dengan ukuran 1-1,25 meter biasanya disebut dengan sai peti.
Fungsinya untuk menutupi peti yang berisi barang-barang berharga. Kain tenun
pelepai banyak ditemukan di daerah pesisir, namun antara daerah satu dengan
yang lainnya memiliki karakteristik tersendiri. Motif kapal pada kain tenun
pelepai yang ditemukan di daerah Pertiwi, Cukuh Balak, misalnya lebih cenderung
mirip dengan kapal peking dari Tiongkok. Sementara, motif kapal pada kain tenun
inuh yang ditemukan di daerah Kalianda dan Kota Agung cenderung mirip dengan kapal milik portugis. Selain
itu, warna yang digunakan untuk pembuatan kain ini juga berbeda. Masyarakat
Kota Agung lebih banyak menggunakan warna dominan kuning untuk kain tenun
pelepai ini. Warna kuning ini diambil dari kunyit yang telah dihaluskan dan
direndam selama hampir berbulan-bulan. Sementara itu, masyarakat Pertiwi
menggunakan warna dominan merah bata yang diambil dari pewarna alami pada kain
tenun pelepai buatannya. Penggunaan warna merah juga dibuat secara alami
menggunakan daun dan akar pohon jati. Inilah dua contoh kain tradisional masa
kini yang masih tetap dipertahankan agar tidak punah. Mari bersama kita
selamatkan kain tenun Lampung, agar bisa bersaing.
Kain tenun ikat inuh
Masyarakat pesisir Lampung memiliki aneka kain
tradisional yang hingga kini masih lestari. Salah satu kain tradisional Lampung
yang dimiliki oleh masyarakat pesisir yaitu Kain tenun ikat inuh. Kain tenun
ikat inuh banyak ditemukan di daerah pesisir seperti Krui dan Liwa. Kata Inuh
dalam penggunaan nama kain ini berasal dari kata induh yang berarti tidak tahu
(entah). Kain tenun ikat inuh merupakan penggabungan dua budaya dunia yakni
Tiongkok dan India. Tak mengherankan jika pada masa lampau banyak pedagang dari
Tiongkok dan India yang singgah ke Krui untuk berdagang. Melalui kegiatan
berdagang itu lambat laun budaya kedua bangsa besar itu pun masuk dalam
kehidupan suku Lampung di pesisir Teluk Lampung. Teknik penenunan kain inuh
mendapat pengaruh teknik tenun ala bangsa India. Sementara, teknik penyulaman
menggunakan benang sutra dari Tiongkok. Sulaman menggunakan teknik ala Tiongkok
ini dikerjakan secara manual menggunakan tangan dengan motif yang begitu dan
indah dan cukup rumit. Kain tenun ikat inuh merupakan kain yang tahan lama dan
awet. Hal ini karena dipengaruhi oleh pembuatan dan pewarnaan yang juga
berlangsung secara lama.
Menurut Zulkifli yang juga pemilik pusat kerajinan
Lampung tapis ruwa jurai ini mengatakan bahwa pembuatan kain tenun ikat inuh bisa
memakan waktu hingga 1 tahun. Proses awalnya benang dari katun dipintal
menggunakan peralatan sederhana. Setelah itu, benang-benang halus itu terbentuk
barulah menuju proses berikutnya yaitu pewarnaan. Benang-benang itu diberi
pewarna alami menggunakan berbagai akar dan daun tumbuhan seperti kunyit, kayu
jati, jamblang dan lainnya. Benang-benang itu direndam kemudian dikeringkan
dengan bantuan cahaya matahari secara langsung. Jika sudah kering akan
dimasukkan kembali dalam wadah besar untuk proses pewarnaan. Begitulah proses
pembuatannya hingga satu tahun. Maka tak heran walaupun sudah berusia ratusan
tahun, bahkan konon hingga mencapai usia 800 tahun, namun warna dan bentuk kain
tenun ikat inuh masih tampak terjaga dengan baik. Proses pewarnaan yang memakan
waktu satu tahun itu merupakan proses terlama dalam pembuatan kain tenun ikat
inuh. “Motif kain tenun ikat inuh itu masih tetap kuat dan terjaga hingga
kini,” kata dia.
Benang-benang yang
telah diwarnai dengan pewarna alami itu kemudian ditenun menjadi kain tenun
yang berbentuk panjang dengan motif dasar. Masyarakat menyebutnya dengan
sebutan jangkrak untuk alat tenun kain tradisional ini. Biasanya gadis-gadis
Lampung akan menenun sambil duduk menggunakan jangkrak ini. Kain tenun ikat
inuh biasanya dibuat oleh gadis-gadis Lampung sebagai simbol kedewasaan. Tak
jarang kaum ibu juga turut membuat kain ini. Kain panjang itu kemudian akan
dijahit secara manual menggunakan benang hingga terbentuk seperti sarung untuk
orang dewasa. Kain yang telah berbentuk sarung itu kemudian akan disulam
menggunakan benang sutra yang didatangkan dari Tiongkok. Kain tenun ikat inuh
ini terasa lebih halus berkat sentuhan benang sutra ini. Proses pengerjaan kain
tenun ikat inuh dahulu kala bisa memakan waktu hingga 4 bulan. Panjang ukuran
kain tenun ikat inuh ini rata-rata mencapai 1,5 x 1,15 cm. Inilah salah satu
kain tradisional warisan dunia yang masih bisa kita temukan hingga kini.
Sebagai masyarakat Lampung, kita wajib untuk turut menjaga dan
mengembangkannya. Mak ganta kapan lagi, Mak kham sapa lagi ?