Rumah tradisional Lampung merupakan salah satu
warisan kekayaan budaya bangsa yang harus dilestarikan. Rumah-rumah tradisional
Lampung masih banyak kita temukan hingga saat ini. Walaupun jumlah memang
tidaklah sebanyak dulu. Salah satu kawasan di Bandar Lampung yang masih
memiliki rumah-rumah tradisional Lampung yakni di tiuh Rajabasa Tuho yang
secara administratif masuk dalam Kecamatan Rajabasa, Bandar Lampung.
Salah satu
rumah tradisional yang masih berdiri kokh yakni milik Nasrun adok Tuan Khatu
Migo dan Nilawati adok Suttan Unjunan. Pasangan suami istri ini telah
berpuluh-puluh tahun menempati rumah ini. Menurut riwayat yang ia peroleh rumah
yang ditempatinya itu didirikan sejak tahun 1807. Ia hanya tahu, rumah ini
merupakan warisan secara turun temurun dari keluarganya. “Usia rumah ini, udah
mencapai ratusan tahun tapi masih berdiri kokoh karena kayunya berkualitas,”
kata mereka kompak.
Menurut Amrin Ayub adok Tuan Pengikhan yang juga
ketua adat Marga Abung Anak Tuha Rajabasa. Sebuah perhimpunan masyarakat adat
Lampung Abung yang menaungi Bandar Lampung dan Lampung Selatan. Amrin,
mengatakan bahwa rumah milik Nasrun dan Nilawati termasuk rumah tua yang
berusia ratusan tahun. Pada zaman dahulu, untuk membuat sebuah tiuh (kampung) setidaknya ada 4 syarat
yang harus dipenuhi yakni adanya bali sesat adat, masjid, pangkalan mandi dan
kuburan. Hal ini diperlukan karena merupakan kebutuhan umum yang nantinya akan
digunakan bersama-sama.
Dahulu di kawasan Rajabasa Tuho ini masih berupa daerah
yang masih ditutupi hutan dan juga sungai yang panjang membentang. Kayu-kayu
yang besar-besar juga masih banyak ditemukan. Kayu dengan jenis merbau inilah
yang kemudian digunakan oleh masyarakat setempat untuk membuat rumah dengan
jenis panggung. Rumah tradisional Lampung umumnya berbentuk rumah panggung. Hal
ini sengaja dibuat untuk melindungi diri mereka dari binatang buas maupun
marabahaya lainnya. “Umumnya rumah adat Lampung berbentuk rumah panggung dengan
aneka ornamen yang khas,” kata dia.
Amrin menambahkan, Rumah milik Nasrun dan Nilawati
dibangun lebih dulu sebelum didirikannya tiuh rajabasa tuho ini. Rumah itu
mulai dibangun pada tahun 1717. Setelah melalui proses pembuatan yang cukup
lama, akhirnya rumah warisan leluhur itu secara resmi ditempati pada tahun
1737. Barulah pada tahun 1806, pada masa kolonial Belanda, Tiuh Rajabasa Tuho
diresmikan menjadi sebuah perkampung suku Lampung. Sesuai dengan perkembangan
zaman, kini Tiuh Rajabasa Tuho dihuni oleh berbagai etnis, walaupun begitu
pesona rumah panggung masih tetap bisa kita jumpai di kawasan ini.
Beberapa
sub-klien etnis Lampung juga hidup berdampingan di sini, seperti suku Lampung
dari buay pemuka-Way Kanan, buay Nyunyai-Kotabumi dan Buay Bulan-Menggala.
Perpaduan budaya ini menjadi satu paduan khas yang menjadikan Rajabasa tuho
semakin menawan. Hal ini juga turut mempengaruhi bentuk dan ornamen pada rumah
panggung di Tiuh Rajabasa Tuho. “Rajabasa Tuho merupakan kawasan yang memiliki
banyak rumah panggung dibandingkan daerah lainnya di Bandar Lampung,” kata dia.
Nuwo tuho milik Nasrun adok Tuan Khatu Migo dan
Nilawati adok Suttan Unjunan ini memiliki beberapa bagian-bagin yang penting
dan unik. Secara kasat mata dari luar, nuwo tuho ini menjadi salah satu
bangunan yang paling mencolok. Dua buah tangga menjadi penghubung para satu
serambi dengan ruang tamu. Masyarakat Lampung di sini mengenal tangga bagian
depan ini dengan sebutan ijan pengadopan. Ada dua tangga depan yang menjadi
penghubung yakni di sebelah kiri dan kanan.
Serambi menjadi bagian tak
terpisahkan dalam bangunan tradisional suku Lampung. Umumnya serambi terletak
di bagian depan sebelum memasuki ghuang temui (ruang tamu). Pada bagian ghuang
temui (ruang tamu), ada beberapa benda-benda kuno yang masih terpampang di
dinding seperti kaca batu dengan ornamen batu sulaiman, giok, akik, kecubung
dan combong. Kursi dan meja antik juga
masih menjadi bagian rumah tua ini. Beberapa kain tradisional Lampung juga
tampak terpajang sebagai hiasan.
Tak jauh dari ghuang temui (ruang tamu) terdapat
kamagh anak mekhanai. Sebuah ruangan yang dikhususkan bagi anak lelaki.
Memasuki bagian dalam rumah ini, kita akan menjumpai kebik tengah. Kebik tengah
ini merupakan ruangan yang biasanya digunakan untuk kumpul bersama keluarga
besar, tempat anak gadis menyulam maupun aktifitas kebersamaan lainnya. Tak
jauh dari kebik tengah ada kamagh utama yang merupakan kamar yang dikhususkan
bagi pemilik rumah. Kamagh muli berada di depan kamagh utama. Ada juga beberapa
ruangan yang dikhususkan untuk shalat, ruang tidur tamu, anak-anak dan
orangtua(mertua) pemilik rumah. Pada bagian belakang, ada dapokh (dapur) yang
menyatu dengan ghuang mengan yang digunakan untuk memasak dan makan bersama
keluarga besar. Sementara itu, tempat yang dikhususkan untuk tempat cuci
mencuci mulai piring dan barang-barang kotor lainnya disebut gaghang. Beberapa
peralatan tradisional seperti way tabu (tempat menyimpan air), paghuh (alat
mengambil air dari bambu) dan gughi (kendi) juga masih bisa kita jumpai.
Rumah tradisional Lampung masih bisa kokoh sampai
hari ini karena dalam proses pengerjaannya benar-benar sesuai prosedur dan
bahan-bahan yang berkualitas. Kayu yang digunakan biasanya menggunakan kayu
merbau tanpa sambungan dan berbentuk lembaran papan. Sebelum digunakan untuk
membuat rumah kayau merbau itu direndam di dalam ham (kolam lumpur bercampur
air) selama 3-4 bulan.
Rumah panggung ini juga memiliki perawatan tersendiri,
yakni untuk pengepelan lantai menggunakan minyak tanah yang dicampur tembakau ataupun
solar. Dalam sekali pengepelan bisa menghabiskan hingga 2 liter solar. Rumah
panggung milik Nasrun adok Tuan Khatu Migo dan Nilawati adok Suttan Unjunan ini
memiliki luas 25x14 meter dengan tinggi rumah dari tanah sekitar 2 meter. Pada
bagian dasarnya dilapisi menggunakan batu besar yang masih kokoh hingga kini.
Rumah panggung ini merupakan rumah warisan leluhur yang akan terus dilestarikan
dan diwariskan kepada anak tertua lelaki sesuai sistem kekeluargaan yang
dipegang oleh masyarakat Lampung.
0 komentar:
Posting Komentar