Puncak 1 Gunung Anak Krakatau (GAK) |
Apa yang Anda pikirkan jika mendengar kata Lampung ?
Mungkin Anda langsung tergambar tentang rombongan Gajah-gajah liar di Taman
Nasional Way Kambas (TNWK) atau Wisata Lumba-lumba di Teluk Kiluan ? Tak ada
salahnya memang, namun, Lampung tidak hanya memiliki TNWK atau Teluk Kiluan
saja. Cagar Alam Gunung Anak Krakatau (GAK) juga layak untuk Anda sambangi jika
berkunjung ke Lampung. Cagar alam yang satu ini menyimpan pesona yang luar
biasa dan tak ada duanya. Sejarah panjang akan Gunung Krakatau purba menjadi
bagian tak terpisahkan yang senantiasa membayangi. Namun, walaupun begitu
keeksotisan Gunung Anak Krakatau (GAK) menjadi sorotan dunia.
Saya beserta 250 rombongan yang berangkat secara
cuma-cuma saat Festival Krakatau 2014 menyaksikan dengan mata telanjang
keindahan alam bumi Lampung yang satu ini. Setiap pengunjung pasti akan
berdecak kagum, mentafakuri setiap jejak yang terselip pada pemandangan di
sekitar cagar alam ini. Perjalanan kami berawal dari Lapangan Korpri, Kantor
Gubernuran, Teluk Betung, Bandar Lampung. Para peserta yang berasal dari
berbagai daerah di Lampung berkumpul sejak pukul 06.00 WIB. Perjalanan dari
Bandar Lampung menuju Dermaga Bom, Kalianda ditempuh sekitar 2 jam perjalanan.
Biasanya wisatawan yang akan menyebrang menuju Cagar Alam Gunung Anak Krakatau
melalui Dermaga Canti, Kalianda. Namun, karena ini dalam hajatan besar tentunya
perahu-perahu yang biasanya membawa wisatawan terlalu kecil dan tidak
menucukupi. Maka tak heran jika penyebrangan dialihkan melalui Dermaga Bom,
Kalianda yang memang banyak perahu besar yang bersandar di sini. Jarak Dermaga
Bom menuju Dermaga Canti sekitar 15 menit menggunakan kendaraan bermotor.
Peserta antri kapal di Dermaga Bom |
Rute penyebrangan dari Dermaga Canti menuju Pulau
Sebesi biasanya ada setiap hari dengan biaya Rp 25ribu sekali jalan dengan
waktu tempuh sekitar 1 jam – 1,5 jam. Barulah perjalanan bisa dilanjutkan
menuju Cagar Alam Gunung Anak Krakatau (GAK) juga ditempuh sekitar 1,5 jam
perjalanan. Selain itu, ada juga wisatawan yang menempuh jalur Bakauheni –
Gunung Anak Krakatau dengan waktu tempuh 3 jam perjalanan. Namun, jika Anda
lewat Dermaga Bom kapal akan langsung menuju Gunung Anak Krakatau dengan waktu
tempuh sekitar 3 jam biaya yang dikeluarkan Rp 5juta untuk carteran 50 orang
dewasa.
Dermaga Bom, Kalianda, Lampung Selatan |
Kapal yang digunakan untuk mengantarakan para wisatawan di Dermaga Bom sangat khas dengan bentuk layar meruncing ke sebelah kanan maupun kiri. Masyarakat setempat menyebutnya dengan Bagan Congkel. Bagan congkel terbuat dari kayu manteru dengan harga per kapal mencapai Rp 400juta dan bisa bertahan hingga sekitar 30 tahun lamanya.
Setelah melakukan 3 jam perjalanan akhirnya kami
semua bisa melihat pesona Cagar Alam Gunung Anak Krakatau yang terpancar dengan
gagahnya. Gunung tanpa vegetasi ini memakau para pengunjung. Namun di bawah
puncak 1, kita akan banyak menjumpai pohon pinus dan juga pepohonan lainnya
yang begitu rimbun. Pohonan itu tampak menghijau seperti pada lamun di bawah
gunung.
Pantai Abu Vulkanik GAK |
Pantai abu vulkanik menyambut kedatangan kami. Satu per satu dari kami
turun dari bagan congkel dan siap mendaki hingga puncak 1 cagar alam ini.
Puncak 1 sebagai titik teraman untuk pendakian, para wisatawan dilarang mendaki
melebihi puncak 1. Selepas menikmati pantai vulkanik, saya beserta teman
seperjalanan pun langsung menadaki. Rifky, Reza dan Tyo menjadi teman
seperjalanan yang menyenangkan.
Reza dan Rombongan Festival Krakatau mulai mendaki |
Kami harus mendaki puncak setinggi 900 meter
dari permukaan air laut dengan waktu tempuh sekitar 30-35 menit. Sesampainya di
puncak 1 para wisatawan biasanya berfoto dengan latar Gunung Anak Krakatau
(GAK) yang masih saja mengeluarkan asap hingga kini.
Pulau Panjang dilihat dari Puncak 1 |
Melalui puncak ini juga
kita bisa melihat dengan jelas Pulau Rakata, Sertung dan Panjang.
Jika Anda ingin berkunjung ke cagar alam ini maka
Anda harus mengantongi Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi (SIMAKSI). Simaksi
bisa kita peroleh di BKSDA Lampung dengan menghubungi ibu Rika (0812 7941
9798). Simaksi untuk warga negara Indonesia dikenai biaya Rp 2juta untuk satu
rombongan berapa pun jumlahnya. Sementara untuk warga negara asing dikenai
biaya Rp 4jutaper rombongan. Mengunjungi Gunung Anak Krakatau merupakan suatu
kebahagian tersendiri buat Anda karena bisa turut menyaksikan bekas letusan
yang maha dahsyat kala itu.
Sahabat Perjalnan : Reza, Rifky, dan Tyo |
Selain mendaki dan menikmati pemandangan di sekitar
puncak 1, Anda juga bisa menyusuri pantai abu vulkanik. Pantai dengan pasir berwarna hitam yang agak kasar karena mengalami pemanasan alami dengan suhu yang bisa mencapai ratusan derajat celcius. Jika dipikir pantai ini agak mirip dengan Pantai Parangtritis di Yogyakarta. Renang maupun snorkeling di spot Legon cabe juga bisa Anda nikmati di sana. Konon,
terumbu karang cantik siap menyambut kedatangan Anda.
Sahabat Perjalanan, Ferry Chindy Feryandhi |
Jika Anda akan mengunjungi kawasan cagar alam ini
siapkan perbekalan yang cukup. Pasalnya di sini tidak ada penjual makanan
seperti di tempat wisata lainnya. Anda bisa membawa perbekalan makanan dan
minuman sejak di Kalianda maupun Pulau Sebesi tempat transit sebelumnya.
Sekilas tentang Cagar Alam Gunung Anak Krakatau
Cagar Alam Krakatau |
Menurut guide kami, Ahyar, yang juga petugas BKSDA
Lampung mengatakan bahwa Cagar Alam Gunung Anak Krakatau terdiri dari empat
pulau utama yaitu Pulau Sertung, Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Gunung
Krakatau purba (Krakatau induk). Ada beberapa papan informasi yang mengisahkan
terbentuknya Gunung Anak Krakatau (GAK). Pembentukan Cagar Alam Gunung Anak
Krakatau pada masa prasejahtera diawali dengan adanya sebuah gunung api besar
yang disebut Krakatau Besar. Kala itu Krakatau Purba berbentuk kerucut.
Pada ratusan ribu tahun yang lalu terjadi letusan
dahsyat yang menghancurkan dan menenggelamkan lebih dari 2/3 bagian Krakatau.
Akibat letusan tersebut menyisakan 3 pulau kecil yaitu Pulau Rakata, Panjang
dan Sertung. Pertumbuhan lava yang terjadi di dalam kaldera Rakata membentuk
dua pulau vulkanik baru yaitu Danan dan Perbuatan.
Pada Senin, 27 Agustus 1883 terjadi letusan besar
dan menghancurkan sekitar 60% tubuh Krakatau Purba di bagian tengah sehingga
terbentuk lubang kaldera dengan diamter sekitar 7 km dan menyisakan 3 pulau
kecil yaitu Pulau Rakata, Panjang dan Sertung. Kegiatan vulkanik di bawah
permukaan laut terus berlangsung dan periode 1927-1929 muncul sebuah dinding
kawah ke permukaan laut sebagai hasil erupsi. Pertumbuhan ini terus berlangsung
membentuk pulau yang dikenal dengan Anak Krakatau.
Proses re-kolonisasi pada flora dan fauna di Pulau
Rakata, Panjang dan Sertung berjalan cukup lama, yakni pasca letusan 1883
hingga sekarang. Sedangkan, di Pulau Anak Krakatau yang muncul pada tahun
1927-1929, rekolonisasi baru berjalan sekitar 75 tahun silam. Daerah punggung
gunung di Pulau Anak Krakatau umumnya masih gundul karena suhu yang tinggi dan
daerah kurang air. Di sini kita hanya menjumpai tumbuh pioneer seperti gelagah
(Saccharum spontaneum) yang bersimbiosis dengan Azospirillum lippoferrum. Pada
bagian bawah yang telah ditumbuhi gelagah terjadi proses pelapukan pasir yang
kemudian tumbuh tanaman perdu berbunga ungu yang biasa dikenal Melastoma Affine
dan tumbuhan lainnya.
Saat ini keanekaragaman flora di Kepulauan Krakatau
tercatat antara lain 206 fungi (jamur), 13 jenis Lichenes (lumut), 61 jenis
paku-pakuan dan sekitar 257 jenis spermatophyta (tumbuhan berbiji). Sedangkan,
faunanya terdiri dari mamalia seperti rattus (tikus) dan Megaderma (kalong).
Kelompok aves ada sekitar 40 jenis dari yang berukuran besar sampai kecil.
Kelompok reptilia selain biawak, penyu juga ada ular.
Cagar alam Gunung Anak Krakatau terletak diantara
Pulau Sumatera dan Jawa, tepatnya di Selat Sunda. Maka tak mengherankan jika banyak
wisatawan yang berkunjung ke sini melalui Banten walaupun secara administratif
GAK masuk dalam Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan. Cagar Alam ini dianggap
sebagai laboratorium alam raksasadengan total luas mencapai 13.735,10 hektar.
Wilayah laut mencapai 11.200 hektar dan
luas daratannya mencapai 2.535,10 hektar.
Kepulauan sekitar Krakatau sempat dinyatakan
pemerintah Hindia Belanda sebagai Cagar alam sejak 1919 dengan luas area
2.405,10 hektar. Kepulauan Krakatau kemudian dimasukkan ke Taman Nasional Ujung Kulon
tahun 1984. Tahun 1990, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam Departemen Kehutanan memindahkan Cagar Alam Kepulauan Krakatau ke Balai
Konservasi Sumber Daya Alam atau Kantor Konservasi Sumber Daya Alam Lampung.
Hal ini bertujuan untuk melindungi dan mempertahankan integritas kawasan ini
sebagai sebuah kawasan konservasi yang penting bagi ilmu pengetahuan dan
pendidikan. Pada tahun 1991, UNESCO mengakui Cagar Alam Kepulauan Krakatau
sebagai Warisan Alam Dunia.
Balai
KSDA Lampung
Jl. Z. A.
PagarAlam IB - Bandar Lampung
Telp/Fax. (0721)
703882
Email: bksdalpg@yahoo.com and bksdalpg@gmail.com
Website:http://www.krakatau.or.id
Tour Krakatau dalam rangkaian acara Festival Krakatau 2014 :
Sejarah GAK terpampang di kaki GAK |
Menyebrang, menuju Dermaga Bom, Kalianda |
Pose di Kaki GAK |
Bagan Congkel |
Foto diatas gunung |
Tekno Bolang, Travel Blogger yang inspiratif |
Gardi di kaki GAK |
Menuju Krakatau |
Sekfi diatas Puncak 1 |
Papan Informasi |
Melalui blog ini, saya ucapkan terima kasih banyak kepada Mbah Suro atas bantuan anka togel nya, yg di berikan saya kemarin alhamdulillah benar2 tembus, berkat bantuan Mbah saya sudah bisa melunasi semua hutang2 saya sama tetangga bahkan saya juga sudah punya modal sedikit buat usaha kecil-kecilan, sekali lagi terima kasih banyak Mbah atas bantuannya kpd saya.. Jika anda ingin seperti saya hubungi aja beliau di nmr 082 354 640 471 atas nama Mbah Suro Ninggil........
BalasHapusWhat a beautiful post indeed. Great view of tourists walking on the mountain ridge area of Anak Krakatau Island and enjoying their great trip.
BalasHapusairport parking deals