Pulau Pahawang
Ahad,
7 Oktober 2012 rekan-rekan Sahabat Pulau
Lampung (SPL) sudah berada di sekitar Gedung PKM Universitas Lampung begitu
juga Alumni Program Kapal Pemuda Nusantara. Angkot jurusan Rajabasa-Tanjung
Karang milik Pak Kembar dan rekannya siap mengantar kami menuju Dermaga
Ketapang.
Dermaga
Ketapang merupakan salah satu jalur menuju Pulau Pahawang. Para relawan Sahabat
Pulau ini merupakan orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat
pesisir. Pendidikan berkarakter lebih mereka tekankan kepada anak-anak didiknya
di Pulau Pahawang.
Angkot
Pak kembar segera meluncur saat semua peserta sudah berkumpul. Saya beserta
Nur’aini yang merupakan Alumni KPN 2012 ikut rombongan Sahabat Pulau Lampung.
Sementara Elsa dan Regen mengendarai motor.
Tak
lama untuk mencapai Pulau Pahawang dari kota Bandar Lampung. Kami melewati
Tanjung Karang Pusat, yang merupakan pusat Kota Bandar Lampung. Sampai di Teluk
Betung kita akan menjumpai kawasan pecinan. Deretan toko-toko yang sudah usang
namun unik berpadu dengan bangunan-bangunan bernuansa etnis China. Itulah
keunikan Teluk Betung.
Jalanan
yang mulus dan lumayan lebar membuat nyaman perjalanan. Tak berapa lama kami
sampai di tanjakan Teluk Lampung. Pemandangan Teluk Lampung begitu memikat,
dengan gugusan pulau-pulau kecil seperti surga yang jatuh dari langit. Birunya
air laut berpadu dengan deretan pohon kelapa menambah keindahan alam Lampung.
Satu
jam kemudian sampailah kami di Dermaga Ketapang. Kapal-kapal milik warga
setempat bersandar di pinggir dermaga. Dari dermaga, kami menyebrang ke pulau
Pahawang dengan ongkos Rp. 15.000 sekali jalan. Sementara untuk menyebrang ke
Pulau Legundi yang lebih jauh dan menggunakan perahu yang lebih besar dikenakan
tarif Rp. 30.000.
Perahu bertuliskan “Putra Mesar” ini
mengantarkan kami menuju Pulau Pahawang. Perahu bermuatan 21 penumpang. Delapan
orang di bagian belakang sementara di bagian depan ada tiga belas orang.
Nahkoda kapal didampingi satu orang, katakanlah ABK duduk disamping nakhoda.
Tugas ABK ini adalah membuang air yang masuk ke kapal. Hemmmm.... luar biasa,
perahu ini.
Sepanjang
perjalanan, birunya laut menjadi pemandangan utama. Sementara itu,
gunung-gunung yang meranggas berdiri tegak mengelilingi lautan nun jauh disana.
Pertanda musim kemarau melanda. Pulau terdekat sepanjang perjalanan adalah
Pulau Klagian besar dan Kalgian kecil. Pohon-pohon bakau (mangrove) yang rimbun
terlihat mengelilingi Pulau Klagian Besar.
Belasan penduduk setempat juga terlihat memancing di sekitar Pulau Klagian. Cara memancing mereka sangatlah unik, yakni mereka membenamkan sebagian tubuh mereka ke laut hingga batas pinggang.
Belasan penduduk setempat juga terlihat memancing di sekitar Pulau Klagian. Cara memancing mereka sangatlah unik, yakni mereka membenamkan sebagian tubuh mereka ke laut hingga batas pinggang.
Satu jam, sampai di Pulau
Pahawang
Para
Sahabat Pulau Lampung cukup menikmati pemandangan yang ada sembari
bercengkrama. Saya dan Regen asyik berfoto. Memotret keindahan alam Lampung
yang belum tergali secara optimal. Sekitar satu jam perjalanan dari dermaga
Ketapang sampailah kami di dermaga Penggetahan desa Pulau Pahawang Kecamatan
Punduh Pidada Kabupaten Pesawaran.
Dermaga
Penggetahan merupakan dermaga paling ramai di pulau Pahawang. Rumah-rumah
nelayan berjajar rapih di kaki gunung Penggetahan. Masjid Penggetahan berdiri
dengan kokohnya berdampingan dengan kantor kepala desa Pulau Pahawang.
Dermaga Penggetahan
Balai agung, demikian saya menyebut sebuah bangunan tempat rekan-rekan Sahabat Pulau Lampung mengajarkan nilai-nilai moral berkarakter kepada anak-anak Pulau Pahawang. Lapangan yang cukup luas terhampar di depan Balai Agung. Rumah-rumah disini cukuplah bagus. Hanya beberapa rumah yang menurut saya kurang layak huni.
Perekonomian warga disini juga cukup bagus.
Tapi, jangan tanya untuk masalah pendidikan. Tidak ada SD maupun SMP apalagi
SMA di dusun Penggetahan ini. Anak-anak dusun Penggetahan harus keluar dusun
untuk bersekolah. Dengan berjalan kaki atau diantar motor jika orang tua mereka
memiliki motor.
Sesampainya
di dermaga Penggetahan anak-anak sudah menyambut kami. Ari dan Bang Acho sedang
bermain games dengan mereka. Mereka
senang kami datang. Kami segera berbaur bersama anak-anak Pulau Pahawang di
Balai Agung. Para Sahabat Pulau Lampung bercengkrama dan begitu dekat dengan
anak-anak pulau ini. Anak-anak ini seperti menemukan oase di tengah gurun yang
kering.
Evi (jilbab biru) dan Elsa sedang mengajar anak-anak Pulau Pahawang
Rekan-rekan
Sahabat Pulau ini mengajari anak-anak Pulau Pahawang dengan hati. Sesuatu yang
disampaikan dari hati biasanya lebih mengena dan terasa. ”nyesssssss”,
begitulah kira-kira rasanya. Ada yang mengajari membaca, berhitung, games
ataupun kegiatan-kegiatan yang mengasah otak.
Spot Cuku Bedil yang Exotic
Cuku
Bedil adalah salah satu spot menarik untuk menyelam. Bahkan kita bisa melihat
dengan jelas terumbu karang dari atas perahu yang kami tumpangi. Cuku Bedil
terletak di sisi barat dusun Penggetahan. Melalui dusun Penggetahan ke Cuku Bedil
bisa ditempuh dengan perahu atau berjalan kaki. Saya pun pernah mencoba kedua
jalur tersebut. Jarak termpuhnya sekitar 20 menit dengan berjalan kaki.
Pemandangan alama yang berpadu dengan birunya laut begitu memikat.
Villa
berornamen ukiran Jawa berdiri dengan anggunnya di kawasan Cuku Bedil. Ada
beberapa perahu yang bersandar, berbaris rapih seperti dikomandoi oleh seorang
instruktur. Pasir Pantai Cuku Bedil sangatlah halus. Mirip seperti tepung.
Menurutku pasir pantai ini berbeda dengan pantai-pantai yang pernah saya
kunjungi sebelumnya. Jika Anda tidak percaya, sabaiknya Anda langsung ke Cuku
Bedil untuk melihat pasir yang unik itu. Saking kagumnya, saya pun
berulang-ulang memegang pasir yang terhampar luas.
Saya begitu menikmati aktivitas memotret
pemandangan di Kawasan Cuku Bedil. Bahkan, sampai-sampai kamera Elsa, rekan
saya habis baterai. Rekan Sahabat Pulau Jakarta pun meminjamkan kameranya
kepada saya. Kamera SLR, kamera yang sangat saya inginkan. Hehehehehe.
Waktu
Ashar tiba, saya beserta teman-teman lainnya segera sholat Ashar. Perahu yang
akan mengantarkan kami kembali ke dermaga Ketapang sudah menunggu sedari tadi.
Beberapa rekan dari Sahabat Pulau Lampung berangkat lebih dahulu. Saya
memutuskan untuk mengikuti perahu kedua. Perahu dengan ukuran yang sama.
Tak
berapa lama perahu pertama berlayar, perahu kedua yang kami tumpangi pun
menyusul. Baru beberapa saat berlayar, perahu yang kami tumpangi menabrak batu
karang. Hampir saja perahu ini oleng. Titik kemiringan sudah melampaui batas.
Saya merasa takut sekali. Kekhawatiran tampak jelas dari raut wajah para
penumpang. Tidak hanya sekali, untuk kedua kalinya perahu ini lagi-lagi
menabrak batu karang.
Pemandangan
batu karang tampak begitu jelas bahkan bisa dilihat dengan mata telanjang. Kapal
akhirnya mundur, beberapa penumpang yang naik di atap kapal turun. Kami hanya
berharap semoga kapal ini tidak menabrak batu karang lagi. Alhamdulillah,
akhirnya kapal kembali berlayar. Gelombang besar menemani perjalanan kami,
hingga Dermaga Ketapang.
Balai Agung, tempat anak-anak belajar
0 komentar:
Posting Komentar