Keliling Rajabasa Raya melihat prosesi Bejuluk Buadok, prosesi pemberian adok suku Lampung Marga Tiyuh Balak Way Kanan
Suku
Lampung merupakan salah satu suku yang mendiami wilayah Indonesia. Berragam
seni budaya yang dimilikinya merupakan aset bangsa yang perlu terus
dilestarikan. Salah satu upacara adat suku Lampung yang masih lestari hingga
kini adalah upacara bejuluk buadok. Bejuluk buadok
sendiri termasuk dalam lima falsafah hidup suku Lampung selain Nemui Nyimah, Piil Pesenggiri, Nengah
Nyappur dan Sakai Sambayan.
Kelima falsafah ini masih terus dipegang oleh suku Lampung baik pepadun maupun saibatin. Suku Lampung yang berasal dari klien pepadun biasanya mendiami wilayah dataran, pegunungan maupun
pedalaman. Sedangkan suku Lampung yang dikelompokkan dalam klien saibatin biasanya mendiami wilayah
pesisir, baik di pinggir sungai maupun laut. Bahasa mereka juga dikelompokkan
menjadi dua dialek, yakni dialek api
dan nyow.
Pada
Ahad, 22 Desember 2013 saya sempat mengikuti prosesi upacara bejuluk buadok marga Tiuh Balak Way
Kanan. Prosesi ini dilaksanakan pada saat resepsi pernikahan kyai Azwin Nurkholis dan wo Roki Nurhera. Salah satu tokoh adat
setempat, Bapak Hamidi didapuk sebagai pemimpin upacara adat tersebut. Beliau naik
keatas panggung tanda upacara adat akan segera dimulai. Suasana begitu hikmat. Mula-mula
ia menyapa para pendengar dengan sapaan khas Lampung. “ Tabik pun ” , suara itu menggema memenuhi seisi ruangan. “ Ya, pun “ jawab para pendengar dengan
syahdu. Sebagian peserta upacara adat memang berasal dari suku Jawa. Wo Roki Nurhera sendiri berasal dari
suku Jawa. Maka wajar saja jika sebagian besar pesertanya merupakan suku Jawa.
Sebagian
besar mereka baru tahu sapaan khas Lampung ini walaupun mereka telah lama
tinggal di Lampung. Bagi suku Lampung, sapaan tabik pun, merupakan hal yang wajar dan biasa, karena sapaan ini
sering diperdengarkan dalam upacara-upacara adat. Tapi, bagi suku di luar
Lampung, ini merupakan hal yang “ luar biasa ” bagi mereka. Maka, secara tidak
langsung dalam upacara adat bejuluk
buadok kali ini juga bisa dijadikan sebagai ajang untuk transfer of culture.
Pada
prosesi bejuluk buadok kali ini
memang tidak serumit upacara bejuluk
buadok yang seperti biasanya. Upacara bejuluk
buadok biasanya masuk dalam rangkaian upacara begawi yang diadakan selama 7 hari 7 malam. Kerbau merupakan
binatang yang biasanya tak pernah absen setiap begawi digelar.
Tak
berapa lama, Pak Hamidi selaku tokoh adat setempat melakukan tradisi angkonan. Roki Nurhera mempelai wanita yang
berasal dari suku Jawa diangkat sebagai “anak kandung”. Hal ini dilakukan agar
setiap ada upacara adat yang digelar oleh masyarakat adat marga Tiuh Balak, Roki
bisa diterima dan diikutsertakan. Hal ini tentu akan lain ceritanya jika Roki
tidak mengikuti aturan adat ini.
Kain
tapis tujuh warna, uang adat kelipatan dua puluh empat ataupun prosesi minum
dengan gelas yang ditukar tidak saya temukan pada tradisi angkonan kali ini. Memang, tradisi angkonan kali ini diadakan
dengan cara yang sederhana. Prosesi angkonan kali ini hanya dengan membacakan
melalui teks tertulis bahwa Roki Nurhera diangkat sebagai anak kandung dari
tokoh adat tersebut. Dan kini, Roki secara sah bisa diterima keluarga besar
mempelai pria.
Berfoto bersama mempelai wanita dan pria usai pemberian adok
Selepas
prosesi angkonan, prosesi selanjutnya adalah inti dari upacara bejuluk buadok yakni pemberian adok ( gelar ). Kyai Azwin Nurkholis yang memakai kain tumpal dengan kopiah emas
dikepalanya mendapatkan gelar Rajo Gusti sedangkan wo Roki Nurhera yang berbalut kain tapis dan siger balak di
kepalanya kini bergelar Sangun Ratu. Maka, kini dalam kehidupan keseharian
mereka dipanggil sesuai dengan gelar mereka. Makna dari upacara adat ini adalah
bahwa setiap anak manusia harus harus tahu dengan jelas silsilah keluarganya. Itulah
sebabnya upacara adat bejuluk buadok
terus dilestarikan oleh suku Lampung hingga kini. Mari bersama-sama kita terus
lestarikan adat budaya Lampung. Mak kham
sapa lagi, mak ganta kapan lagi. Tabik.
0 komentar:
Posting Komentar