Selasa, 26 Agustus 2014

Wisata Belanja : Berburu Aneka Kain Tradisional Lampung




Kain tenun Tampan
Kain tenun Tampan mulai berkembang sejak masuknya agama islam dan kehidupan masyarakat Lampung. Maka tak mengherankan kain tenun inuh ini juga mendapat pengaruh dari kebudayaan islam. Motif yang tertuang dalam kain tenun tampan yakni kapal, manusia dan aneka binatang seperti ubur-ubur, burung, gajah, ikan, kura-kura dan lainnya. Umumnya kain ini berwarna merah dengan paduan sedikit warna biru. Seperti halnya kain tenun inuh yang dibuat menggunakan jangkrak, kain tenun Tampan juga menggunakan alat yang sama. Pada zaman dahulu kain ini digunakan untuk menutupi hantaran saat prosesi lamaran diadakan. Ada juga kain tenun tampan yang memiliki ukuran lebih kecil akan digunakan untuk menutupin mushaf Alquran. Menurut Zulkifli, pemilik gerai tapi ruwa jurai ini mengatakan bahwa ada kisah tersendiri mengenai motif yang tertuang dalam kain Lampung yang telah berusia 150-200 tahun ini. Kapal, manusia dan aneka binatang serta tumbuhan merupakan bagian tak terpisahkan dalam kain tenun tampan. Pasalnya, kondisi itu menceritakan sat Nabi Nuh dan umatnya menghindari banjir bah yang sangat dahsyat. Kisah tentang nabi Nuh dalam agama Islam tersebut mengilhami terbentuknya kain tenun tampan. “Konon, motif kain tenun inuh ini mendapat pengaruh dari budaya islam melalui kisah nabi nuh dan umatnya,” kata dia.















Kain tenun Pelepai / Jung Galuh
Sepintas kian tenu pelepai hampir sama dengan kain tenun tampan, pasalnya sama-sama didominasi oleh motif kapal, binatang laut dan manusia. Namun, ternyata kain tenun Pelepai memiliki perbedaan yang cukup kentara. Kain tenun Pelepai pada bagian kedua ujungnya pasti akan dihiasi dengan sebuah pohon. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan pohon hayat (pohon kehidupan). Panjang kain tenun pelepai minimal 2 meter yang biasanya akan digunakan saat upacara adat berlangsung. Kain tenun pelepai berfungsi untuk alas duduk saat prosesi nikahan berlangsung. Biasanya calon pengantin, keluarga besar, tamu kehormatan dan penghulu duduk diatasnya. Kain tenun pelepai dengan ukuran 1-1,25 meter biasanya disebut dengan sai peti. Fungsinya untuk menutupi peti yang berisi barang-barang berharga. Kain tenun pelepai banyak ditemukan di daerah pesisir, namun antara daerah satu dengan yang lainnya memiliki karakteristik tersendiri. Motif kapal pada kain tenun pelepai yang ditemukan di daerah Pertiwi, Cukuh Balak, misalnya lebih cenderung mirip dengan kapal peking dari Tiongkok. Sementara, motif kapal pada kain tenun inuh yang ditemukan di daerah Kalianda dan Kota Agung cenderung  mirip dengan kapal milik portugis. Selain itu, warna yang digunakan untuk pembuatan kain ini juga berbeda. Masyarakat Kota Agung lebih banyak menggunakan warna dominan kuning untuk kain tenun pelepai ini. Warna kuning ini diambil dari kunyit yang telah dihaluskan dan direndam selama hampir berbulan-bulan. Sementara itu, masyarakat Pertiwi menggunakan warna dominan merah bata yang diambil dari pewarna alami pada kain tenun pelepai buatannya. Penggunaan warna merah juga dibuat secara alami menggunakan daun dan akar pohon jati. Inilah dua contoh kain tradisional masa kini yang masih tetap dipertahankan agar tidak punah. Mari bersama kita selamatkan kain tenun Lampung, agar bisa bersaing. 



Kain tenun ikat inuh
Masyarakat pesisir Lampung memiliki aneka kain tradisional yang hingga kini masih lestari. Salah satu kain tradisional Lampung yang dimiliki oleh masyarakat pesisir yaitu Kain tenun ikat inuh. Kain tenun ikat inuh banyak ditemukan di daerah pesisir seperti Krui dan Liwa. Kata Inuh dalam penggunaan nama kain ini berasal dari kata induh yang berarti tidak tahu (entah). Kain tenun ikat inuh merupakan penggabungan dua budaya dunia yakni Tiongkok dan India. Tak mengherankan jika pada masa lampau banyak pedagang dari Tiongkok dan India yang singgah ke Krui untuk berdagang. Melalui kegiatan berdagang itu lambat laun budaya kedua bangsa besar itu pun masuk dalam kehidupan suku Lampung di pesisir Teluk Lampung. Teknik penenunan kain inuh mendapat pengaruh teknik tenun ala bangsa India. Sementara, teknik penyulaman menggunakan benang sutra dari Tiongkok. Sulaman menggunakan teknik ala Tiongkok ini dikerjakan secara manual menggunakan tangan dengan motif yang begitu dan indah dan cukup rumit. Kain tenun ikat inuh merupakan kain yang tahan lama dan awet. Hal ini karena dipengaruhi oleh pembuatan dan pewarnaan yang juga berlangsung secara lama.
Menurut Zulkifli yang juga pemilik pusat kerajinan Lampung tapis ruwa jurai ini mengatakan bahwa pembuatan kain tenun ikat inuh bisa memakan waktu hingga 1 tahun. Proses awalnya benang dari katun dipintal menggunakan peralatan sederhana. Setelah itu, benang-benang halus itu terbentuk barulah menuju proses berikutnya yaitu pewarnaan. Benang-benang itu diberi pewarna alami menggunakan berbagai akar dan daun tumbuhan seperti kunyit, kayu jati, jamblang dan lainnya. Benang-benang itu direndam kemudian dikeringkan dengan bantuan cahaya matahari secara langsung. Jika sudah kering akan dimasukkan kembali dalam wadah besar untuk proses pewarnaan. Begitulah proses pembuatannya hingga satu tahun. Maka tak heran walaupun sudah berusia ratusan tahun, bahkan konon hingga mencapai usia 800 tahun, namun warna dan bentuk kain tenun ikat inuh masih tampak terjaga dengan baik. Proses pewarnaan yang memakan waktu satu tahun itu merupakan proses terlama dalam pembuatan kain tenun ikat inuh. “Motif kain tenun ikat inuh itu masih tetap kuat dan terjaga hingga kini,” kata dia.
Benang-benang yang telah diwarnai dengan pewarna alami itu kemudian ditenun menjadi kain tenun yang berbentuk panjang dengan motif dasar. Masyarakat menyebutnya dengan sebutan jangkrak untuk alat tenun kain tradisional ini. Biasanya gadis-gadis Lampung akan menenun sambil duduk menggunakan jangkrak ini. Kain tenun ikat inuh biasanya dibuat oleh gadis-gadis Lampung sebagai simbol kedewasaan. Tak jarang kaum ibu juga turut membuat kain ini. Kain panjang itu kemudian akan dijahit secara manual menggunakan benang hingga terbentuk seperti sarung untuk orang dewasa. Kain yang telah berbentuk sarung itu kemudian akan disulam menggunakan benang sutra yang didatangkan dari Tiongkok. Kain tenun ikat inuh ini terasa lebih halus berkat sentuhan benang sutra ini. Proses pengerjaan kain tenun ikat inuh dahulu kala bisa memakan waktu hingga 4 bulan. Panjang ukuran kain tenun ikat inuh ini rata-rata mencapai 1,5 x 1,15 cm. Inilah salah satu kain tradisional warisan dunia yang masih bisa kita temukan hingga kini. Sebagai masyarakat Lampung, kita wajib untuk turut menjaga dan mengembangkannya. Mak ganta kapan lagi, Mak kham sapa lagi ?

1 komentar:

  1. Apakah boleh minta alamat atau telepon dari Bapak penjual kain ini? Terimakasih banyak sebelumnya. Salam

    BalasHapus

Pages